Tuesday, December 24, 2013

Missing Thing

Hallo, aku kembali setelah berminggu-minggu tidak memposting apapun. Maklumlah, sebagai pelajar SMA yang terlalu biasa jadi beberapa minggu terakhir aku selalu sibuk dengan tugas-ulangan-ujian-remedial.
Menyambut datangnya liburan akhir tahun yang baru saja aku jalani selama 3 hari, membuatku berpikiran untuk menulis blog lagi. Awalnya, aku tidak punya minat untuk memposting akhir-akhir ini. Sembari meratapi blogku yang setahun belakangan ini terisi dengan tulisan-tulisan absurd membuatku ingin memposting sebuah tulisan yang hello-this-is-anin.
Rasa bosan yang menggangguku sejak tadi pagi membuatku iseng untuk membuka beberapa blog milik teman-temanku. Hingga akhirnya aku 'tersangkut' pada sebuah postingan milik temanku, Dyah Febrina atau Febi atau Kukun, yang sebenarnya sudah diposting setahun yang lalu bahkan sebelum kami masuk SMA. Postingan itu membuatku merasakan sebuah rasa yang aneh. Serasa flashback pada masa-masa SMP kami dan menimbulkan rindu-rindu itu.
Tentu saja kali ini aku tidak ingin memposting tentang siswa-baru-pada-masa-kelas-delapan itu. Hanya saja, mengingat masa-masa SMP itu membuatku merasa aneh dan lucu.
Bagaimana pada kelas pertama sewaktu masa SMP bukanlah tahun yang baik bagiku. (rasanya aku tidak perlu banyak cerita mengenai ini karena aku sendiri tidak ingin mengenangnya)
Lalu beranjak ke tahun kedua yang membuatku mengerti banyak hal--cinta, persahabatan, persaingan sekolah, organisasi, jatuh bangun meraih nilai.
Hingga akhirnya aku sampai pada tahun terakhir masa SMP. Tahun yang menurutku begitu sulit untuk dideskripsikan. yang membuatku begitu rindu untuk mengulangnya meski enggan untuk dilakukan. Aku hanya rindu bagaimana kelasku waktu itu berdagang bersama, studytour, ujian bersama-sama, tes masuk SMA, saling mendoakan masing-masing, dan beberapa kekompakkan yang belum aku temukan dalam kelas-kelas berikutnya setelah kelas itu.
Terkadang, aku merasa kehilangan beberapa sosok teman yang terlalu unik dalam kelas itu. Yang pada kehadirannya aku masih belum merasakan sesuatu yang spesial dari mereka, tapi ketika mereka jauh aku merasakan bahwa aku benar-benar merasa kehilangan dan aku benar-benar merindukan mereka.
Hanya saja, jika aku boleh memilih, aku ingin kembali ke masa-masa itu.

Thanks to Febi Kukun for let me to read the post and makes me feel soooo missing you.
Serenade, I don't know how but I missed you.
Especially Febi Kukun, Nita Uti, Renisa, Lulu, Corinna, and Iswa.

Thursday, December 12, 2013

Sunday, October 27, 2013

Yoon Chanyoung

Halo, setelah mulai tergila-gila dengan sebuah drama yang sedang booming dan bertabur bintang berjudul The Heirs (SangSokJaDeul) saya mulai tersadar saya memang gila (dari dulu deh kayanya).
Ketika semua orang yang nonton The Heirs berfokus pada cerita dan main castnya, Lee Minho (Kim Tan) dengan Park Shin Hye (Cha Eun Sang), saya sendiri lebih berfokus pada second couple Kang Min Hyuk (Yoon Chan Young) - Jung Krystal (Lee Bo Na). of course because I'm a Lovely Gaze so I'll focus on Minhyuk.
Tapi alasan saya ingin posting di sini sekarang adalah....
I had fallen in love with Yoon Chanyoung.
Kenapa?
Bukan karena Minhyuk-nya (Sebenarnya itu alasan klasik ya kalo saya mau bilang suka Chanyoung karena Minhyuk. Tentu saja saya akan suka Chanyoung karena peran itu dimainkan oleh idola saya.) Tapi lebih tepatnya karena sifatnya.
Yoon Chanyoung di drama ini dikisahkan sebagai cowok pinter, baik hati, pacar yang baik, imut (pastilah Minhyuk kan imut), sahabat yang baik, meskipun bukan orang kaya raya seperti teman-temannya.
Nah loooh dari penjelasan di atas saya sangat tertarik dengan cowok pinter, pacar yang baik, dan sahabat yang baik.
Berhubung Chanyoung di drama ini diceritakan sebagai siswa kelas 11 (dan sekarang saya juga siswa kelas 11/2 SMA), pikiran saya kemudian melambung  jauh di awang(?).
Seandainya Yoon Chanyoung itu teman satu sekolah saya, bahkan teman satu kelas saya, kemudian menjadi sahabat yang baik bagi saya, kemudian saya yakin saya akan move on ke dia. [Berhubung Chanyoung hanya peran fiksi dan diceritakan sudah jadi pacar Lee Bona (Jung Krystal), saya nggak jadi move on deh *alibi]
Mau tahu Yoon Chanyoung kaya gimana?
Ini dia, cii ganteng (?) pacarnya Lee Bonanin....
Ganteng Kaaaaaannn


Chanyoung meluk Bona. Meluk akunya kapan?


Omo, Minhyuk-kie or Chanyoung-ah?


Chu~:*


Friday, October 25, 2013

BFF = Bad Friend Forever?

She did something that I never expected before

That night, an absurd and the worst night that I never had, I said something and heard something.
I feel so disappointed of my self and someone. Someone that i thought My BFF. Best Friend Forever. But, guess?

I just being hurted with that people. Such being a backstabber. Someone's backstabber on me. And that one was my BFF. Then now I know what is BFF means....
Bad Friend Forever.
And now I merely know who is that one. That one who never worthy to be the real of BFF means. The one who hurts me not only once.

So, BFF had many meaning, huh?
The real one was Best Friend Forever.
Now, It's going to be Bad Friend Forever, Backstabber Friend Forever, BloodyHell Friend Forever, etc

Maybe it was enough for me. I have to beware of 'choosing' friend. Because your friends not always being a real friend used to be. Because they can hurt you slowly. Because they can be your biggest enemy.

Monday, October 21, 2013

First Love End [Inspired by K.Will's Song]

My first love has died, buried in my heart
It burned up my heart and became ash


Ponselku memutarkan sebuah lagu yang baru saja aku unduh semalam. Telingaku mendengarkan liriknya baik-baik. Perasaanku akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja. Banyak sekali yang ingin ku ceritakan lewat lagu dan ku rasa lagu ini cukup tepat untukku.
Aku ingin bercerita tentang sebuah cerita yang bukan pertama kalinya aku tulis. Aku ingin berpindah hati. Kau tahu, bukan sesuatu yang mudah mempertahankan perasaan selama tiga tahun pada orang yang sama--orang yang bahkan tak pernah menganggapmu lebih dari hanya seorang teman. Kau tahu, aku sudah mati-matian menahan sakit dan aku ingin menyerah sekarang.

My first love has died, buried in my heart
It burned up my heart and became ash


Aku ingin menganggapnya sudah pergi jauh dan tak akan kembali lagi. Seperti menemui kematian seolah selama hidupku mendatang aku sudah tidak akan bertemu dengannya. 
Aku ingin cinta pertamaku mati. Mati terkubur dalam hatiku. Mati dan membiarkanku mencintai orang lain. Mengapa cintaku terlalu egois? Mengapa ia mengambil hatiku dengan cara seperti ini? Dengan kenyataan bahwa mencari pelarian saja tidak bisa lebih-lebih mencari pengganti.

My love that won’t ever come again, it’s you, it’s you
My first love has died


Aku hanya ingin menganggapnya seperti itu. Dia yang tak akan datang lagi dan dia yang seolah sudah mati. Maka aku akan melepasnya.
Kau tahu ini tidak mudah tapi mungkin ini salah satu cara yang bisa membuatku bisa melupakannya.

The person who became my hope for the first time
The person who became my despair for the first time
My love that won’t ever come again, it’s you, it’s you
My first love has died

Monday, October 14, 2013

I Started To Be Their Shipper

Long time no fangirling, now I'll telling you about something. Something which I never expected before. How I am being a shipper between Kang Min Hyuk - Jung Krystal.
This story began from the first time I read fanfictions. There were so many fanfictions that pairing them to be a couple. For the first time, I feel so angry because I thought they didn't match to be couple. Then, I started to write fanfictions and never pairing them. I always made Krystal to be the antagonist cast, not the main one.
Until Minhyuk casted My Husband Got A Family (2012 Korean Drama), he paired with Oh Yeon Seo to be couple and Minhyuk casted to be a playboy. My heart broken when I saw Minhyuk got a kissing scene so I decided to never let any woman idols to be paired with my beloved Minhyuk (lol)--absolutely with Krystal.
Day by day, there were so many people who support Minhyuk and Krystal to be a real couple (and my bestfriend, Nindy, was the one of them) and I felt like.. day by day I was being worse fan, a fanatic fan, and I felt like I was not good enough to be a fan.
Then, I read an article on internet which told that Minhyuk would play on K-Drama again and on that drama there was Krystal too. And I felt so Wow and expect that they wouldn't be on love line there. My heart got an attack when I read the next article which told that Minhyuk and Krystal would get a love line there and they would be second couple on that drama. Oh My God.
Last week, their drama was aired and I downloaded the video. I felt so hurt when I saw them. I only hope that someday they will not get kissing scene. But after that, I started to search the pictures both of them, and there is something weird.
I felt so happy to see Minhyuk smiled next to Krystal, I felt so happy to see them, they look alike, they look sweet together, and I realized that it was Yoon Chan Young (Minhyuk cast) and Lee Bona (Krystal cast) not really Minhyuk-Krystal. Then, I felt they cute to be together.
Such a karma, I started to love them. Then I realized that being fan not means that we must being a fanatic one. Being a fan means we must support our idols. Such a lesson to me, I tarted to be a better person.
Their K-Drama was The Heirs.

These are some picture of them, hope you like it ^^
( This for MinStal/HyukStal/MinJung/or anything else for Minhyuk-Krystal Shipper)
On 1st Episode between Bona-Chanyoung

At The Heirs Press Conferense [Last Week]







Tuesday, October 1, 2013

With Ballad Songs

Bersama alunan lagu I Need You milik Kim Sung Gyu, aku mulai menulis lagi.

Menulis tentang orang yang tak akan pernah ada bosannya ku ceritakan. Bahkan aku sudah lupa berapa kali aku menyebutkan kepada orang-orang bagaimana peristiwa pertemuan kami yang berimbas jadi cinta seperti ini terjadi. Bosan mungkin menurut kalian mendengarnya. Tapi entahlah, aku masih sangat tertarik untuk membahasnya lagi.
Alunan balada yang mengalun di telingaku seolah masuk ke dalam hatiku. Bagaimana Kim Sung Gyu berkali-kali menyebut kata I Need You dan rasanya aku ingin berteriak begitu juga kepadanya. Kepadanya yang tiga hari lagi akan datang ke kotaku yang sama sekali tak ku ketahui tujuannya, yang sama sekali tak ada perjanjian untuk bertemu dengannya, yang mungkin akan berdampak cukup buruk bagi mood-ku tiga hari mendatang.
Aku uring-uringan lagi. Menulis lagi dan melakukan hal-hal bodoh lagi sesaat sebelum aku tidur;mengkhayal akan bertemu dengannya, membayangkan wajahnya yang samar-samar sudah mulai ku ragukan masih sama seperti setahun yang lalu, dan mengkhayati setiap lagu-lagu balada yang berputar lewat daftar main musik pada ponselku.
Kubuka lagi sebuah buku kenangan masa sekolah menengah pertama yang ku letakkan di meja dan di baris buku paling depan--agar aku selalu bisa membacanya--fotonya terpampang di sana beserta kesan saat bersekolah di sekolah yang sama denganku. Fotonya yang terpasang satu halaman di belakang fotoku. Ku lihat senyum ringannya dan rindu itu menelusup paksa lagi. Tidakkah dia sadar bahwa aku lelah untuk bersikap seperti ini? Karena menatap wajahnya lewat foto hingga hari berlalu saja tak akan bisa menghilangkan rasa rinduku yang sudah terlanjur menumpuk seperti tumpukkan sampah yang ada di kota tinggalnya sekarang.
Perlahan, lagu yang ku dengar berubah menjadi If This Was A Movie milik Taylor Swift. Aku merutuki lagi mengapa semua lagu yang ku simpan hampir semuanya bercerita tentang cinta sebelah tangan. Bagaimana seluruh lagunya hampir bercerita tentang kisah kami. Bagaimana aku selalu mencari lagu-lagu balada terbaru untuk menyalurkan rasa rinduku.
Kemudian, dentingan lembut piano dari lagu So Close milik Jon Mclaughin menggema lagi dan membuatku ikut terhanyut lagi.
All that I wanted to hold you So Close...

Sunday, September 22, 2013

Saturday, September 14, 2013

Life with Half of Water

This story began last friday when I want to went to canteen but someone called me that I had called by teacher from B.K. Then, I and my friend, Faya, went to meet the teacher.
Then my teacher asked me, what my problem at that time. Actually, I'm not in a bad situation that day, but she told me that I have to said my problem. Because I don't want to tell about love story, So I start to tell that I wasn't confidence with my physics because I'm fat and I wasn't like the other student.
Then my teacher told to me that my situation can be described like a half of water on a glass. Then my teacher draws a glass with a half of water. Then she asked, " what do you think about it? " I keep my silent and actually I don't figured out her means. Then she continued, " If you have a glass of half water, what will you do?" I still silent and I ever thought that I will drink that water if I have it (?) but I don't think so with my mind. Then my teacher told me again, " Our life is like a half of water on a glass that we have. Then, there are 2 choices to make this water useful. First, you get mad with it because you only have a half, not full. So, you always angry, never say thanks with everything that you had. It same like you never accept yourself because yourself aren't perfect. Second, you say thanks to this although you only have a half. It same like you accept yourself with everything that you had. So, what will you choose?"
I answered, " the second choice."
Then my teacher smiled, " You just need to say thanks with everything that you had. Although your body weren't like a barbie but you have brain like a brilliant. That's more important than everything."

Monday, September 2, 2013

[Fanfiction] The Promise


Title : The Promise
Author : Minhyuk’s Anae
Length : Oneshoot
Rating : PG-16
Genre : Romance, Friendship
Cast :
-          Wu Yi Fan (Kris)
-          Amber Liu
-          Jung Soo Jung (Krystal)
-          Kim Jonghyun
-          Other Cast
Note : Thank you if you read this. I’m so glad if you want to fill the comment and click the like button. My happiness is when all of you enjoy the story. Re-post : aninjustanin.blogspot.com .  This Fanfiction is belong to Kris-Ber Shipper.

Sunday, September 1, 2013

Saturday, August 24, 2013

You

Kisah tentang cintaku dengan siswa baru pada masa sekolah menengah pertamaku, entah kapan akan selesai.
Aku masih ingat posting pertama yang ku tujukan kepadanya adalah Coup De Foudre yang ku tulis 10 hari setelah bertemu dengannya. Sebuah posting yang ku tulis dengan grammar bahasa inggris yang sangat acak-acakan--maklum, aku masih kelas 2 smp waktu itu. Bagaimana kisah itu mulai berawal dan menjadi setumpuk cerita melebihi novel tebal yang pernah ku baca, menjadi setumpuk kata yang tak bisa ku ungkapkan.
Sampai pada posting-ku yang sekarang, tulisanku masih tertuju untuknya.
Aku tidak tahu sampai kapan aku menulis segala cerita tentang kisah cintaku yang mengalun seperti balada bersama siswa baru itu.
Mungkin tak ada posting terakhir.
Mungkin juga akan ada posting terakhir tentang kisah kami.
Mungkin aku ingin posting terakhir itu akan bercerita bagaimana Cinta Pada Pandangan Pertama-ku itu berujung bahagia setelah bertahun-tahun lamanya.
Halo, Juli 2010, aku ingin mengulang kisah itu. Aku ingin memperbaikinya dan menjadikannya ending bahagia. Lalu aku tahu itu tak mungkin, sekarang aku ingin tetap menjadikannya ending yang bahagia.

Tahun Ketiga dan Tahun Pertama

Akhir-akhir ini pikiranku kacau ketika membayangkan wajahmu. Perasaan lelah mulai ku rasakan. Apa aku sudah lelah menunggu?
Ini adalah tahun ketiga aku menyukaimu. Menunggumu untuk sadar bagaimana aku sudah jatuh hati padamu semenjak pertama kali mataku memandangmu. Di pinggir kaca pintu kelas dua sekolah menengah pertama, dan segala kenangan selama setahun berada di sampingmu adalah hal yang tak akan kulupakan.
Awalnya ku kira menunggu bertahun-tahun tak akan ada hal yang berpengaruh dalam hidupku. Mungkin aku hanya perlu diam, menunggumu datang, menyambutmu kembali--itupun jika kau ingin aku menyambutmu, lalu akan datang di mana cintaku akan berlabuh bahagia. Tapi ternyata menunggu tidak semudah itu.
Cintaku tidak terluapkan, rinduku tidak tersampaikan, kau tahu juga tidak, bukan?
Lalu aku sempat berpikir, mengapa aku masih menunggumu? Di saat mungkin saja kau di sana tak pernah memikirkan aku barang selintas. Apa Anin masih mencintaiku?
Walau tak pernah ada kata terucap langsung dariku bahwa aku mencintaimu, terlalu mustahil kau tidak tahu bahwa aku pernah memendam rasa.
Setelah menunggu 3 tahun lamanya ditambah Setahun penantian untuk kembali bertemu, aku merasa ganjil pada rasaku. Apa yang telah aku perbuat selama ini untukmu, apa ada timbal balik baik bagiku? Apa ada balasan untukku?
Lalu sadarku datang, bahwa kata mereka cinta memang seperti itu. Cinta datang meski tak diminta, cinta akan hinggap meski sudah disuruh pergi.
--Jangan pernah tanyakan berapa kali aku menyuruh rasa itu pergi, aku sudah berusaha tapi dia datang lagi. Dan aku tidak punya alasan untuk tidak menyuruhnya tetap tinggal.

Pada Tahun Ketiga setelah pertemuan kita dan Tahun Pertama setelah perpisahan kita, cintaku mulai meragu.

Jika Aku Boleh Meminta

Jika aku boleh meminta, maka aku akan memintamu suatu hal. Bukan hal yang muluk tapi cukup berarti bagiku. Bukan hal besar tapi terasa istimewa bagiku. Bukan apa-apa tapi berharga bagiku. Itupun kalau kau membolehkannya.

Jika aku boleh bertanya, ada satu pertanyaan yang mengusik relung hatiku untuk bertanya padamu. Pernahkah aku hadir dalam pikiranmu?
Jika jawabanmu tidak, sama seperti yang aku perkirakan, maka aku akan memintamu satu hal, itupun jika kau mengizinkan aku untuk memintanya.

Jika aku boleh meminta, maka aku akan memintamu untuk menyimpan namaku, memori tentangku, dan sedikit kenangan kita di hidupmu. Jika hidupmu terlalu luas untuk menerimaku, maka ku sarankan kau simpan saja aku hanya sebatas di hatimu. Jika sebuah hati masih terlalu lapang untuk kau bisa memikirkanku, maka simpan saja aku di sel-sel pikiranmu yang kecil tapi banyak. Jika semua itu masih terlalu muluk untuk ku minta, maka bisakah kau simpan memori tentangku walaupun hanya sebatas pada unsur terkecil dalam tubuhmu?
Sebuah unsur yang mungkin bisa lebih kecil dari sel, dari molekul, dari partikel, dan sebuah unsur yang paling kecil yang tak akan pernah bisa terbagi lagi.
Jika semua itu tak bisa kau terima, jika kau masih tak mau menyimpan memori tentangku sama sekali, maka aku akan melepasmu untuk pergi.
Jika suatu saat kita memang tidak pernah bertemu lagi, jika hari itu adalah hari terakhir aku bisa memandangimu, memandangmu lebih dekat, dan bertemu denganmu, jika suatu saat kau membaca tulisan kecilku ini, maka aku ingin kau jawab pertanyaan yang ku tulis di atas tadi dan aku ingin kau mengabulkan permintaanku.
Jika kau tetap tak bisa, maka mungkin ini semua sudah takdirnya.

Satu hal lagi jika hari itu adalah hari terakhir kita bertemu, kau hanya perlu tahu bahwa kau akan dan selalu ada pada bagian terbesar dalam tubuhku.
kadang, aku juga ingin kau simpan aku di sel-sel darahmu. yang mengalir terus selama kau hidup, dan bisa selalu kau ingat. Jika semua yang ku tulis bisa kau baca dan kau sadari, maka cintaku tidak akan sebalada ini

Saturday, August 17, 2013

[Fanfiction] Honest or Prestige

Title : Honest or Prestige
Author : Minhyuk’s Anae
Length : Oneshoot
Rating : Teenager
Genre : Romance
Cast :
-          Jung Soo Jung (Krystal)
-          Kang Min Hyuk
-          Lee Taemin
-          Jung Yong Hwa
-          Other Cast
Disclaimer : Author’s pure imagination
Note : Thanks if you read this, I’m so glad if you want to fill the comment or click the ‘like’ botton. Re-post : aninjustanin.blogspot.com

Thursday, June 20, 2013

I Will Miss Them #3

It must be the 3rd seasons of "I Will Miss Them" after I tell you about my previous class, Pesta&Serenade. Now, I'm going to tell you about my class, my beloved class, the first class on senior high school, the unpredictable class, Sedan81.
What is Sedan81? Who is Sedan81? I will tell you more now.

Monday, June 3, 2013

Datanglah

Setahun berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin kita saling kenal, rasanya baru kemarin kau membuatku jatuh hati, rasanya baru kemarin kau dan aku saling berbagi cerita, dan sudah setahun kau meninggalkanku.
Wajahmu masih terbayang jelas di memoriku, tuan. Bagaimana matamu membentuk sebuah senyuman saat kau tersenyum. Bagaimana matamu menyorot tajam tapi hangat setiap aku mengajakmu berbicara. Bagaimana mataku mencari bayangku yang tidak ada di sorotan matamu.
Secercah rasa bahagia menyelinap dalam hatiku untuk mengetahui bahwa kau masih mengingatku. Meski hanya sebatas teman. Tapi, untuk mengetahui kau masih ingat saja, ini sudah cukup untukku, Tuan.
Terus ingat aku, tuan. Sebagai temanmu yang bisa menerima kamu apa adanya. Sebagai temanmu yang siap sedia menerimamu. Kemudian kau akan ingat aku sebagai seseorang yang menaruh harap padamu. Kemudian kau akan ingat aku sebagai seseorang yang menunggumu. Kemudian kau akan ingat aku yang selalu mencintaimu.
Kemudian, berbaliklah, tuan.
Datanglah. Pertemuan kita akan sangat berarti meski jika Tuhan hanya memberi kita waktu yang sempit. Datanglah. Walau seandainya hatimu tetap tidak bisa ku miliki, ku mohon datanglah.
Datanglah. Meski hanya sebatas menatap matamu barang sebentar. Datanglah. Meski yang ingin ku dengar lebih dari apa yang ku harapkan.
Mungkin harapanku terlalu muluk untuk memintamu untuk datang. Jika keberatan, mengapa Tuhan tidak pertemukan kita sebentar saja? Aku hanya butuh melihat keadaanmu sebentar dan mendengar suaramu memanggil namaku dengan tegas seperti biasanya.
Datanglah. Jika takdirku bukan dirimu kau boleh pergi lagi. Lalu aku tidak akan mengharapmu lagi. Tapi kumohon datanglah. Meski hanya satu kali. Meski kemudian Tuhan bisa ambil nyawaku, karena yang aku ingin adalah melihatmu satu kali lagi. Tersenyum dan memanggil namaku, Anindityas.
Karena hanya dirimu yang memanggil nama depanku dengan lengkap.

It Had Been A Year

It had been a year i didn't meet you. How are you? How's your life? Do you find a happiness there?
I remember the last moment we met, last year, 3rd June 2012 on a farewell party.
I remember that day I wore a red kebaya and doing some make up on my face. I walked in with my high heels and smile to everybody. Then my eyes catched you so handsomely with grey tuxedo and blue-grey strips tie. I looked at you so deeply, althought I know you didn't realize at that time.
I looked at you, only looked at you, always looked at you. I tried to captured your face on my brain and my heart. I tried to captured your face on my mind. I knew that after that day I don't know where or when we will meet again. I looked at you and whispered to my self, please, looked at me too, D
My heart beated so fast when I knew that the farewell already ended. I tried to find you, just want to say a farewell words and got a picture with you. So unfortunately, I didn't find you at that time. I looked around again but I didn't find you. Then, I walked out from that place and go home with a disappointed feeling that I didn't get our picture and I didn't say good bye to you.
Day by day, week by week, month by month then this day had come. A year after the farewell party. A year I didn't meet you. A year I didn't hear your sound. A year I didn't look your face. But there is one thing that you had to know, I still captured your face on my mind. Always. I never forget your face, No, I won't.
It had been a year, Mr. So, should I wait you for two years, three years, and more long years? Should I? Maybe, I should.

Wednesday, May 29, 2013

Fatamorgana

Aku berjalan di ruang yang sepi tanpa henti. Aku sendiri disini, tanpa tahu arah berjalan tanpa henti. Kemudian dari kejauhan tampak sosok yang begitu sangat ku kenal. Aku melihatmu. Berdiri disana dengan tegas memandangku sembari tersenyum. Dengan tulus hati, ku balas senyumanmu. Kau lambaikan jemarimu memintaku untuk mendekat. Tentu saja, dengan senang hati, aku mendekat.
Kemudian kedua alisku mengerut tidak mengerti. Mengapa sosokmu semakin menjauh? Kau terus memintaku mendekat, tapi disaat aku mencoba mendekat mengapa kau mengambil langkah ke depan untuk jarak yang lebih jauh? Aku terus mencoba dan tak mengerti. Ku kira akhirnya kau akan berhenti dan membiarkanku berjalan mendekatimu.
Lama-lama kakiku lelah juga. Kau terus seperti itu. Melambai, meminta, dan menjauh.
Namanya fatamorgana.
Aku tersadar bahwa sosokmu yang ada di jauh sana hanya fatamorganaku. Sama seperti genangan air pada gurun pasir yang panasnya lekat. Terlihat nyata padahal hanya sebuah fiksi;tidak nyata. Akhirnya aku berhenti. Masih memandangmu lekat kemudian aku berkedip dan kau menghilang begitu saja dari pandanganku.
Aku berbalik menatap tapakan jalan yang telah ku lewati sebelumnya. Aku pulang lagi menyusuri jalan itu dan tidak mau meneruskan lagi perjalanan anehku. Namun suaramu membuat nyaliku ciut lagi. Suara nyaringmu terus memanggil namaku. Aku sempat berpikiran untuk kembali mengejarmu namun tidak. Kau hanya sebuah fatamorgana.
Aku kemudian terus melanjutkan langkahku pulang sebelum pikiranku berubah dan semakin gila mengejar bayangan fatamorganamu yang tidak pernah jadi nyata.

Saturday, May 25, 2013

Dimensi Tiga atau Cinta

Kisah kita jika digambarkan mungkin tidak jauh dari kisah garis yang bersilangan dalam bangun ruang dalam dimensi tiga

Aku dan kamu tidak lebih dari dua garis yang saling bersilangan. Dimana kau dan aku tidak bisa bertemu. Kau sibuk dengan garis vertikalmu dan aku sibuk dengan garis horisontalku.
Awalnya kita berada dalam satu garis. Namanya garis pertemanan. Tapi entah tiba-tiba titikku melanggar ke seberang. Aku salah untuk menyeberang tiba-tiba. Aku salah, aku akui itu. 
Ku kira, kita tetap punya ujung. Sama seperti garis FB yang akan bertemu dengan garis AB dalam kubus ABCD.EFGH di dimensi tiga. Ku kira seperti itu. Tapi tiga tahun menunggu, mengapa garisku tidak kunjung menemukan garismu? Kemudian aku sadar benar bahwa kita memang bersilangan. Garisku tetap akan jadi garis horisontal yang menganggap kita lebih dari persahabatan. Menganggapku selalu mencintaimu. Dan kau akan tetap jadi garis vertikal yang berada jauh di belakang garis horisontalku dan menganggap kita tidak lebih dari sekedar teman. 
Kita ada dalam satu ruang yang sama tapi entah, sebuah takdir membuat kita tidak bisa bertemu dan harus selalu bersilangan.

Thursday, May 23, 2013

Sunday, May 19, 2013

Duduk di Hadapanmu

Aku memilih duduk di hadapanmu dibandingkan duduk di sampingmu

Hari itu bukanlah hari pertama kau mengajakku pergi bersama. Tentu saja tidak berdua, bahkan pernah kau mengajakku pergi berdua dan aku justru mengajak orang lain untuk pergi bersama kita. Kita pergi bersama, bersenang-senang bersama, dan aku menatap sesuatu yang lain dari matamu.
Bisakah kau rasakan percikan rasa bahagiaku ketika kita bersama?
Matamu berbeda dari biasanya dan aku menemukan sebuah kebahagiaan tercipta dari matamu dan wajahmu juga gerak tubuhmu. Aku kira kau bahagia karena aku. Aku kira aku penyebab senyum manismu yang terpajang sepanjang hari itu. Aku kira. Aku kira. Hanya perkiraan, bukan?
Aku sadar kemudian bahwa aku bukan penyebab sinaran matamu itu. Bukan aku. Tapi dia. Benarkah? Mata kalian berbeda, boy. Aku bisa membacanya. Sinarnya sama dengan sinarku. Bedanya, sinarku tak bisa terpantulkan tapi berbias tak berbekas.
Kami pergi bertiga;aku, kamu, dan dia. Lucu sekali rasanya. Sesaknya mulai terasa, boy. Aku hanya tak bisa melihatmu dengannya. Kenapa bukan aku penyebab dari sinar matamu itu? Kenapa?
Kami berhenti di sebuah kedai makanan. Mengunjungi sebuah meja untuk bertiga. Seakan sejalan, aku memilih sebuah kursi yang sendirian di hadapan kursi yang berdua. Aku tidak tahu kenapa aku memilih itu. Lalu duduklah kau dan dia di hadapanku.
Sesaat aku menyesal. Kalian lebih sibuk bercengkrama berdua dan mengabaikanku. Haruskah aku jadi satu-satunya orang yang terabaikan?
Aku menatapmu terus-terusan;tentu saja kau tidak menyadarinya. Senyum simpul ku ciptakan di hatiku. Aku bahagia memilih tempat ini karena di tempat ini aku bisa menatapmu sepuasnya. Aku bahagia untuk duduk di hadapanmu.
Kau menatapku sesaat. Mencoba membuatku masuk diantara garismu dan garisnya. Tapi aku tahu, aku sedang melakukan kesalahan.
Rasanya salah untuk menjadi terlihat seperti orang ketiga. Tapi kalian sendiri tidak memiliki status yang jelas, kan? Lalu aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan hatimu, kan?
Aku menatap kalian yang sibuk bercengkerama lagi. Aku hanya diam di hadapanmu. Kenapa tadi tidak ku pilih saja kursi itu? Kenapa tidak ku pilih saja duduk di sebelahmu? Kenapa aku harus memilih duduk di hadapanmu?

Jika aku memilih duduk di sebelahmu, aku tidak bisa puas memandang wajahmu, tuan.
Maka aku memilih duduk di hadapanmu agar bisa puas memandang wajah bahagiamu itu. 
Jika aku memilih duduk di sampingmu, aku tidak tahu ekspresi yang sedang kau sembunyikan, tuan.
Maka aku memilih duduk di hadapanmu agar aku bisa tahu segala ekspresi yang kau ciptakan.
Karena aku lebih memilih duduk di hadapanmu, yang kemudian hanya bisa menatap segala yang kau sedang lakukan.
Karena aku lebih memilih duduk di hadapanmu yang kemudian sadar kau bisa bahagia di hadapanku walaupun bukan aku yang mendampingimu.
Kau boleh bahagia meski bukan aku yang ada di sampingmu, tuan. Tapi tolong biarkan aku ada di hadapanmu untuk menatap segala yang kau lakukan dan membaca apa yang sedang kau rasakan. 
Jangan segan bercerita jika orang yang ada di sampingmu menyalahgunakanmu, tuan. 
Aku setia menanti di hadapanmu.
Kemudian, tataplah masa depanmu yang ada di hadapanmu, tuan;bukan yang ada di sampingmu.

Wednesday, May 15, 2013

Happy 16th Birthday, Anin

Since yesterday I'm not 15 anymore....
Happy Birthday, Anindityas Rahmalia Putri
Thanks All of the wishes from twitter, facebook, line, and directly. 
Thanks Ary for the photo ^^ and I wish I will get the cupcake xoxoxo
I have many wishes on my 16th birthday :
1. I want to be one of student that chosen as science program
2. I want to get good score on the last semester raport
3. I want to be better as always
4. I want my novel will be publish this year
5. I wish my diet success
6. Many more~
Thanks, Ary

Friday, May 10, 2013

Monday, May 6, 2013

Monday, April 29, 2013

Saturday, April 20, 2013

Aku Mulai Terbiasa

Ponselku berdering kala itu, menunjukkan satu nama, dia. Segala canda kami ciptakan. Aku tersenyum dalam segala tulisan yang ia berikan. Aku terhenyak dan kemudian aku menyadari sebuah rasa yang sudah terlalu lama tak ku rasakan.

Dia membuatku lupa dengan masa laluku. Sejenak. Meski kadang ia datang dan membuat suasana sendu lagi seperti sebelumnya. Dia membuat pikiranku bergeser ke arahnya, tidak selalu menatap masa laluku, meski hanya sejenak tapi cukup membuat rinduku seakan meluap.

Setiap hari ponselku berdering, namanya tertera begitu saja di layar ponselku. Setiap hari, tanpa cela, dia hadir menghampiriku, membuatku lupa akan luka masa lalu. Aku mulai terbiasa.

Setidaknya, aku mulai terbiasa akan dering ponsel yang membawaku ke obrolan bersamanya. Setidaknya, aku mulai terbiasa akan canda tawa yang ia berikan padaku. Setidaknya, aku mulai terbiasa akan kenyamanan yang terselip di segala pesan yang ia berikan. Aku mulai terbiasa.

Harapan itu datang lagi. Harapan yang tercipta sama persis ketika aku mengenalnya dulu, dia--masa laluku. Harapan itu datang lagi. Rasa itu terselip lagi diantara kegiatan yang kini menjalar menjadi kebiasaanku, berbincang dan melepas canda bersamanya. Harapan itu datang lagi.

Tiba-tiba pikirannya terbesit di otakku. Bagaimana jika dia hanya pelarianku? Setidaknya, aku tidak mau ada orang yang tersakiti akan ulahku.
Tiba-tiba pikirannya terbesit di otakku. Bagaimana jika dia tidak mencintaiku juga?
Lantas sia-sialah rasa yang mulai berkembang di jiwaku ini.
Tiba-tiba pikirannya terbesit di otakku. Bagaimana jika aku akan sakit lagi?

Sekiranya, aku sudah mulai terbiasa akan segala kehadirannya di hidupku. Sekiranya, aku sudah mulai terbiasa.

Wednesday, April 17, 2013

Kemalanya Datang Lagi

Air matanya tiba-tiba terjatuh
Menyeruak masuk bersamaan dengan kemala
Hatinya berteriak seakan menolak
Aku tidak mau kemala itu masuk lagi

Jantungnya berdebar beribu kali lebih cepat
Memorinya berputar ke masa-masa lalu
Kemalanya datang lagi
Hatinya tidak bisa mengelak

Matanya merapat
Berharap menutup semua yang telah terjadi
Hatinya bergejolak
Kemalanya semakin dekat

Helaan nafasnya terdengar menggebu
Merasakan sesuatu merasuki dirinya
Namanya kemala
Namanya rindu
dan Dia sadar bahwa rindu memasuki dirinya lagi
dan Dia sadar otaknya mengulang memori itu lagi

Monday, March 25, 2013

Aku Merindu Lagi


Rindu menyeruak lagi di hatiku. Aku merindukan sosoknya. Sosok yang biasanya ku temukan di halaman sekolah menengah pertamaku dulu. Mengintipnya dari jendela kelas dan memandangnya yang sedang bermain sepakbola di lapangan depan kelasku. Mengaguminya dari koridor kelas dan mencuri pandangnya sesekali.
Aku rindu wangi tubuhnya yang dengan mudah ku temukan saat dia lewat di hadapanku. Aku rindu sosoknya yang tinggi ketika berdiri di sampingku. Aku rindu suara beratnya yang terkadang ia lantunkan dalam nyanyian. Aku rindu suara petikan gitar yang ia mainkan yang membentuk sebuah nada, sebuah lagu kesukaanku meski aku tahu ia menyanyikannya bukan untukku. Tapi aku rindu segala tentangnya. 
Aku rindu pesannya yang muncul di layar ponselku. Aku rindu senyumnya yang membuat hatiku meleleh saat itu juga. Aku rindu tatapannya yang tajam. Aku rindu celotehannya yang biasa ia keluarkan.
Aku rindu memandangnya diam-diam. Aku rindu mengambil gambarnya secara diam-diam; tentu saja dia tidak tahu itu. Aku rindu panggilannya yang memanggil nama depanku dengan lengkap, " Anindityas ". Dia suka memanggil dengan cara itu. Hanya dia. Hanya dia yang memanggil nama depanku secara lengkap. Aku rindu itu. Aku rindu segalanya. Aku rindu dia.
Perlahan, aku mulai bernyanyi mengikuti sebuah lagu yang dulu sering ia mainkan bersama gitarnya, sebuah lagu yang membuatku merindukannya,
If you’re not the one then why does my soul feel glad today?
If you’re not the one then why does my hand fit yours this way?
If you’re not mine then my does your heart return my call?
If you’re not mine would I have the strength to stand at all?
Cause I miss your body and soul so strong that it takes my breath away
And I breathe you into my heart and pray for the strength to stand today
Cause I love you, whether it’s wrong or right
And though I can’t be with you tonight
You know my heart is by your side~
(If You’re Not The One – Daniel Bedingfield)

Sunday, March 24, 2013

Pesan Waktu Itu

Hari itu tiba-tiba ponselku bergetar--yang membuat hatiku juga ikut bergetar; dan membuat sebuah ulasan senyuman tercetak jelas di bibirku. Sedikit kurang percaya bahwa pengirimnya adalah laki-laki yang ku tunggu sudah lama. Aku mulai membuka pesannya dan terlibat sedikit perbincangan dengannya.

Akhirnya, setelah 9 bulan lamanya dia mengirimku pesan lagi. Aku masih ingat pesan terakhirnya adalah ketika dia berpamitan akan pergi dari Cirebon dan berjanji tak akan melupakanku--aku juga berjanji tidak akan melupakannya; dan kini namanya tertera lagi di ponselku. Untuk pertama kalinya, setelah 9 bulan yang lalu.

Kami mengalami perbincangan yang cukup sederhana. Menanyakan kabar dan sekolah masing-masing sampai akhirnya membuatku cukup kehilangan kata untuk membalas pesannya itu. Sebenarnya banyak pertanyaan di benakku seperti, "Bagaimana sekolah disana?" "Apa kau merindukan Cirebon?" "Apa kau merindukanku?" "Apa kau punya kekasih yang baru sekarang?" dan "Apa kau mencintaiku?"  Hahaha lucu memang tapi benakku bertanya seperti itu. Tidak, aku tidak benar-benar bertanya padanya. Itu lebih dinamakan interogasi kecil-kecilan dibandingkan sekedar bertanya. Well, sejujurnya aku tidak cukup berani.

Kemudian perbincangan kami terhenti dengan keadaan aku tidak membalas pesannya lagi. Aku bingung harus bicara apa. Lalu aku menatap layar ponselku dalam, berharap itu bergetar lagi dan menunjukkan nama pengirimnya adalah dia.

Oh, manusia memang tidak pernah puas dan aku memang tidak pernah puas akan perbincangan yang pernah kami alami meski akhirnya aku selalu mengalah dan memutus perbincangan itu dengan satu alasan aku kehilangan kata-kata.

Setidaknya, terima kasih hari itu sudah mengirimku sebuah pesan. Sudah cukup untuk menguapkan seluruh rasa rinduku yang ku pendam akhir-akhir ini. Meski kini rasa rindu itu mulai menyeruak paksa untuk masuk ke dalam hatiku lagi. Tapi, terima kasih. Terima kasih untuk masih mengingatku sebagai temanmu. Setidaknya, aku masih punya status denganmu walau sebatas teman. Setidaknya, sedari awal memang hanya aku yang punya rasa berlebihan di pertemanan kita. Setidaknya, kapan kita bertemu lagi?

Aku akhiri surat kecilku hari ini. Sekali lagi, terima kasih untuk sudah menghubungiku. Meski pesan sederhana tapi punya efek luar biasa--kau seharusnya tahu bahwa aku selalu menganggapmu luar biasa dari kesederhanaanmu; Kapan-kapan hubungi aku lagi. Kapan-kapan kita bertemu lagi. Terima kasih. Aku mencintaimu.

Saturday, March 16, 2013

Dia Tidak Mencintaiku, Aku Tahu Itu

“ Orang yang kau sukai tak akan pernah mencintaimu juga sampai kapanpun. Walaupun kau menyatakan perasaanmu secara langsung padanya ataupun memohon padanya untuk mencintaimu kembali.” November, 2010
Aku masih ingat betul bagaimana pesan itu masuk ke ponselku saat aku dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah. Membuatku tercengang akan tulisan yang tertera di layar ponselku itu. Apakah dia tahu siapa yang aku cintai?  Pada akhirnya, dia mengatakan padaku bahwa ia tahu siapa orang yang kucintai. Dia.
Setelah itu, hubungan kami sudah tidak dikatakan baik-baik saja. Seminggu dia tak mau menyapaku, tak mau memandangku barang sedetik, tak mau duduk di sampingku lagi. Sampai akhirnya seminggu kemudian dia mulai mau menyapaku lagi. Mungkin dia lupa dengan kejadian seminggu lalu itu. Tapi, kejadian itu merubah kami. Kami bukan yang dulu lagi.
Kami setelah kejadian itu menjadikan kami memiliki sebuah jarak. Jarak yang ku tahu adalah jarak perasaan kami. Aku mencintainya dan dia tidak. Aku mengharapkannya dan dia tidak. Seperti yang sudah dia katakan, dia tak akan pernah mencintaiku. Jarak hati dan jarak perasaan kami yang jauh melebihi jarak antara Indonesia-Korea.
Kami berubah dan aku tahu itu. Bukan kami, tapi perasaanku yang berubah menjadi cinta dan dia yang berubah menjadi tidak lagi dekat denganku lagi. 
Satu hal, pertanyaanku yang menyelinap di hatiku, siapa yang memberitahunya bahwa aku mencintainya?

2 tahun lebih 4 bulan kemudian

Aku duduk di depan laptopku sembari menuliskan beberapa kata yang tertumpuk menjadi kalimat-kalimat mengenai aku dan dia. Dia yang kini tak ada di sisiku lagi. Ini jauh lebih menyedihkan dibandingkan aku ingat pesannya waktu itu. Dia memang tidak mencintaiku, aku tahu itu. Tapi ini lebih sulit, dia sudah tidak ada di sisiku lagi. 
Dulu, walau kami tak sedekat biasanya, setidaknya aku masih bisa melihatnya dari jauh. Dari jarak yang bisa ku manfaatkan. Dari jendela kelas, dari koridor kelas yang mempertemukan kami, dan halaman sekolah yang menjadi tempatku memperhatikannya diam-diam.
Kini, kami bahkan tidak dalam kota yang sama lagi.  Aku tak tahu apa yang dia lakukan lagi. Aku tak pernah bisa memperhatikannya lagi. Jarak. Sekali lagi jarak memisahkan kami.
Tuhan, mengapa jarak antar kami begitu jauh? Jarak tinggal maupun jarak rasa. Kami jauh. Aku tahu itu.
Sebuah memori berputar lagi di otakku layaknya roll film. Bagaimana pesan itu muncul di layar ponselku. Kenyataan terpahit yang pernah ku alami. Layaknya penolakan walaupun aku tak menawarkan apapun.
Dia tidak mencintaiku. Tidak pernah, katanya. Walaupun aku mengatakannya dia tak pernah mencintaiku, katanya. 
Tapi aku mencintainya. Selalu, kataku. Walaupun dia menolakku untuk mencintaiku, kataku. Aku tetap mencintainya, bahkan sampai kapanpun ku kira. Sampai aku sudah tidak bisa menulis lagi.

Dia tidak mencintaiku, aku tahu itu. Aku mencintainya, dan dia tahu itu.

Wednesday, March 13, 2013

Kopi

Aku dapat menyimpulkan bahwa cinta dan kopi memiliki persamaan yang cukup signifikan.

Aku mencintaimu sama seperti aku mencintai kopi. Dimana aku terhanyut dalam harum kopi yang menenangkan dan alunan harapan cintamu yang membuatku tenang. Dimana akhirnya aku selalu menyesap secangkir kopi setiap harinya, sama dengan aku selalu mencintaimu setiap harinya. Tiada hari tanpa kopi di hidupku dan tiada hari tanpa mencintaimu di hidupku.
Cappucinno. Secangkir cappucinno mengubah hidupku. Rasa manisnya menggila dan membuatku lupa bahwa tetap ada rasa pahit dalam secangkir cappucinno. Sama seperti mencintaimu. Aku lupa bahwa cinta tidak selamanya indah. Cinta selalu punya rintangan. Dan kini aku mulai menyesap rasa pahitnya.
Kopi memiliki caffeine yang membuat candu pada setiap penikmatnya. Dan cintamu sudah menjadi candu dalam kehidupanku. Sekali lagi, aku tak bisa hidup tanpa kopi. Dan aku tak bisa hidup tanpamu. Setidaknya, aku memang sudah menjadi pecandumu. 
Kemudian aku sadar, dalam kehangatan cappucinno aku lupa bahwa kopi punya banyak jenis lain. Aku mulai teringat dengan pahitnya espresso. Sayangnya aku tak suka. Aku lebih menyukai cappucinno. Tapi sepertinya espresso mulai memaksaku untuk mulai menikmatinya. Sama seperti ketika aku sedang terhanyut oleh kehangatan yang kau beri tiba-tiba kau hempaskan aku ke rasa pahit yang melebihi semua jenis espresso yang pernah ku cicipi. Setidaknya, semua kopi tidak semuanya manis dan semua cinta tidak semuanya bahagia.
Kopi membuatku kehilangan rasa kantukku. Membuat mataku terbuka sepanjang malam. Sama sepeti dimana aku selalu mengingatmu sepanjang malam yang membuat rasa kantukku lenyap entah kemana.
Kemudian orang di sekelilingku mulai menasehati bahwa kopi tidak baik untukku. Kopi perlahan merusak lambung serta jantungku. Membuat debaran jantungku seakan berdetak kencang di atas normal. Kopi perlahan merusak tubuhku. Sama seperti cintamu yang perlahan merusak kejiwaanku. Tapi aku tetap dalam suatu pendirian dimana aku tetap menyukai kopi walaupun itu merusak. dan aku tetap menyukaimu walaupun itu menusuk relung hatiku. 
Sesungguhnya kopi membahayakan jiwaku. Aku tahu itu. Kecanduan kopi berbahaya sama seperti aku kecanduan akan cintamu. Akan rasa cintaku kepadamu.
Sejujurnya, aku tetap mencintai kopi. Aku tetap bertahan dengan caffeine yang sudah mulai masuk dalam tubuhku, meracuniku. Sama seperti aku bertahan pada cintamu yang mulai menusuk jantungku, membuat jantungku sakit di atas batas normal. Tapi bodohnya, aku masih akan tetap bertahan.
Mungkin jika aku meninggal nanti. Aku baru sadar akan bahaya kopi mencintaimu. 

Sekiranya, kini aku mulai menyukai Espresso. Aku mulai meninggalkan Cappucinno. Karena sekarang cintaku kepadamu bukan layaknya cappucinno lagi. Kisahku dan kisahmu sama seperti secangkir espresso. Rasanya pahit. Aku tidak suka. Tapi perlahan aku mulai bertahan di atas kepahitannya.

Wednesday, March 6, 2013

Writing at Raining Place


I don't know how. I just wanna write something. Maybe about the people that i thought i was falling in love with him. No, I'm wrong. No, I'm not. Because I do never get jealous on him. Like today, he met her love and I'm not jealous.
Then, my mind go to a memory--old memory. Memory about " They told me the name was First Love " D. Yes, only him. My First Love. It's hard to say that i do never move on from him. I had try to move (with R-R-A) and it was failed. D, you success to makes me going insane.
Then, my mind going trough the memories of us. D and I. Oh no, I'm wrong! I did mistake!  I forgot that D and I would never being " us " . Is it right, D? Oh, very touching.
D, I can't move on right? What should I do? Sometimes I hate my self because it won't forget you.
D, I do always love you. Am I wrong or stupid to expecting someone who never expecting me?
D, I'm blinded by love. My heart looks like closed to another man. My heart only looks at you.
D, it's like I'm gonna die. One thing that I wanna ask to you,
How if I die first before we meet again?

Monday, March 4, 2013

Pemakan Sahabat Sendiri

Untuk dia yang seharusnya membaca tulisanku ini,

Aku menulis sebuah tulisan dengan segala pertimbangan. Pertimbangan dimana persahabatanku dipertaruhkan. Persahabatan? Benarkah?
Aku menemukannya sudah cukup lama. Sahabat yang baik dan ku percaya. Aku begitu memercayainya. Aku sangat memercayainya. Mungkin orang bilang tidak baik terlalu percaya dengan seseorang. Kini aku akui, mereka ada benarnya juga.
Aku masih ingat benar bagaimana aku menaruh rahasia kepadanya tentang seseorang yang aku cinta. Entah apa, tapi suatu petaka mungkin bisa dibilang takdir buruk diantara kami menghancurkan rahasia tersebut. Aku tak tahu apa yang dia mau.
Setidaknya, ku perkirakan dari segala tingkah lakunya, perlahan dia mulai memakanku. Menghabisiku dari belakang. Jangan kira aku tidak tahu. Aku sudah sadar semenjak petaka itu datang, kawan. Memakanku layaknya temannya menghabisinya. Kini dia yang justru menyerangku balik. Menyerangku yang tak tahu apa-apa.
Mungkin kalian tidak mengerti dengan segala kata-kata yang baru saja kutuliskan. Mungkin hanya kami yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Satu pesan untuk semua orang dariku, berdasarkan kejadian pribadi yang aku alami,
Seseorang didekatmu yang kau percaya bisa menjadi seseorang yang akan membunuhmu diam-diam.

Unexpected Me, Expect You

Yes, just like the title that i've been write.
Unexpected Me. Just like you, who never expected me. You, who always ignored me. You, who never consider me, who always there beside you--except now, I can't there beside you. You, who never realized that I've been loving you since the first time we met. You, who never realized that I love you, I do always love you, I do never open my heart for another else since I've been meet you, I do always call you on my prays. You never realized. You never expected me. Never. Never and I Know it.
Expect You. It's different with the previous paragraph. Yes, I do always Expect You. Expect you will love me, someday. Expect you will come back, someday. Expect you will come to make my dreams come true, someday. Expect you, always.

One thing that you have to know from me,
For my first love, new student on eight grade, for someone which never i forget, for someone that never love me, you have to know one thing that....

Loving you as is important as Breathing

Wednesday, February 27, 2013

Sebut Aku

Sebut aku penepuk sebelah tangan
Karena cintaku yang selalu bertepuk sebelah tangan. Kosong tanpa sambutan

Sebut aku pengharap handal
Karena yang bisa ku andalkan hanyalah sebuah harapan tanpa batasan

Sebut aku pecinta satu sisi
Karena sisi yang ku cintai tak pernah memberiku sebuah sisi yang sama

Sebut aku penunggu hebat
Karena yang bisa ku lakukan hanya menunggumu, menunggu kepastian yang tidak pasti lebih tepatnya

Sebut aku pemendam handal
Karena aku memang cukup handal memendam perasaan sakitku ini

Sebut aku perempuan tanpa perpindahan
Karena aku tak pernah bisa berpindah ke sisi lain selain sisimu

Sebut aku perempuan tanpa perubahan
Karena senyatanya tak ada perubahan signifikan dariku. 1 hal yang jelas terasa, tak pernah ada perubahan sedikitpun di hatiku mengenai perasaanku padamu.

Terakhir,

Sebut aku pecintamu
Karena aku memang selalu mencintaimu

Saturday, February 23, 2013

My Fanfiction : Mentariku Datang Lagi

Title : Mentariku Datang Lagi
Author : Minhyuk’s Anae
Length : Oneshoot
Genre : Romance
Rating : Teenager
Main Cast :
-          Park Seo Hee (OCs)
-          Kang Min Hyuk
-          Choi Jun Hong ( Zelo B.A.P)
-          Other Cast
Disclaimer : Author’s Real imagination
Note : I’m back! Re-post : minhyukanaefanfic.wordpress.com don’t forget to RCL! *wink*
Summary :
Ketika aku dan kamu tak pernah menjadi kita.
Ketika aku dan kamu yang tak pernah bisa selaras.
Ketika dia yang datang dan membuatku lupa.
Ketika kau datang lagi dan membuatku setengah frustasi.

Thursday, February 21, 2013

Aku yang Disini dan Kau yang Disana

Aku yang ada disini dan kau yang ada disana, terpisah.
Aku yang ada disini dan kau yang ada disana, sibuk dengan kehidupannya masing-masing.
Aku yang ada disini yang memikirkanmu dan kau yang ada disana yang tak pernah memikirkanku.
Aku yang ada disini dan kau yang ada disana, tak selaras dengan apa yang ada. Begitu juga dengan cinta kita yang sedari awal memang tak pernah selaras.

Aku yang sibuk dengan hidupku dan kau yang sibuk dengan hidupmu.
Aku yang selalu mempertahankan rasa ini dan kau yang tak pernah menganggap rasa ini.
Aku yang selalu mengharapmu dan kau yang tak pernah mengharapku.
Aku yang mendamba dan kau yang menolak.

Aku dan kau yang tak pernah selaras dari pertama pertemuan, lalu mengapa hatiku memaksa untuk rasa ini diselaraskan?
Aku dan kau yang tak pernah selaras mengapa masih ku pertahankan?
Aku dan kau yang tak pernah selaras, pantaskah masih ku simpan rasanya?

Apakah aku penyebab dari kesakitanku sendiri?
Karena aku tahu menunggumu adalah kesakitan tapi aku selalu menunggumu.
Karena aku tahu kau tak akan datang padaku tapi aku selalu berharap.
Karena aku memang pengharap handal yang selalu berharap dalam ambang ketidakpastian.

Apakah aku inti dari kesakitanku sendiri?
Setidaknya, aku memang tahu aku dan kamu tak akan pernah selaras.

Wednesday, February 20, 2013

Rindu

Untukmu yang selalu ku rindukan,

Apa kabarmu? Baik-kah disana? Rasanya waktu terlalu cepat bergulir hingga tak terasa sudah tujuh bulan lamanya kita tidak saling berjumpa. Kenangan terakhirku bersamamu adalah menatapmu dengan diam-diam. Aku menatapmu diam-diam. Selalu diam-diam. Hingga akhirnya waktuku habis untuk menatapmu. Lalu kau lenyap begitu saja hingga sekarang.

Aku tak pernah merasakan rindu sebelumnya. Rindu yang semacam ini. Rindu yang menusuk hatiku diam-diam sama seperti perasaanku yang selalu dalam diam. Rindu yang tak pernah ku ungkapkan dan Rindu yang tak pernah kau ketahui keberadaannya. Rindu yang selalu menggumam dalam hatiku. Rindu yang membuatku sulit untuk menutup mata. Rindu akan kehadiranmu.

Bagaimana dirimu sekarang?
Masihkah seperti yang dulu?
Masihkah ingat padaku?
Kapan kita bertemu lagi?
Pantaskah aku menunggumu?
Pantaskah aku mempertahankanmu?
Pantaskah aku merindukanmu?
Serta pantaskah aku ada disisimu?

Untukmu yang selalu ada di hatiku,
Bagaimana jika kita tak pernah bertemu lagi sedangkan hatiku hanya bisa bertahan untukmu?

Friday, February 15, 2013

Mimpi Semalam

" Akhirnya aku bertemu denganmu lagi, pada mimpiku semalam "

Untukmu cinta pertamaku yang tak akan membaca tulisan ini,

Aku kembali lagi membawa kisah tentangnya. Kisahan mengenai aku dan sesosok siswa baru di kelasku dua setengah tahun lalu. Kisahan mengenai aku dan dia yang tak pernah menjadi milikku.

Entah apa yang membawaku menulis tentangnya lagi. Mungkin karena mimpi semalam yang mempertemukan aku padanya lagi. Aku tegaskan itu hanya sebuah mimpi yang ketika aku terbangun pagi-pagi tersirat rasa duka dalam hati. Menyadari semua yang terjadi bukan nyata seperti yang aku minta.
Di mimpi itu... wajahmu masih sama. Senyummu yang membuat kedua matamu melengkung membentuk senyuman masih jelas tercetak sama. Rahang tegasmu masih jelas terlihat sama. Semua yang ada di mimpiku semalam masih sama.
Di mimpi itu aku dan kamu duduk berdampingan. Menceritakan segala sesuatu yang telah aku dan kamu lewati secara tidak bersamaan. Bersenda gurau layaknya dulu. Lalu kau mengatakan bahwa kau menyukaiku dan semuanya menjadi buram kembali.
Aku terbangun dan menyadari itu semua hanya mimpi. Memandang barang sebentar kosong langit kamarku yang gelap lalu kembali memejamkan kedua mataku. Sayangnya mimpi itu tidak berlanjut karena yang ada hanyalah bayangan hitam hingga aku terbangun kembali. Mungkin Tuhan tak mengizinkanku untuk terlalu lama bermimpi tentangmu. Karena pada akhirnya sama, semua yang ku harapkan tentangmu selalu berakhir di mimpiku.

Aku bersyukur pada Tuhan. Berkat-Nya aku kembali lagi bertemu denganmu. Meski barang sebentar dan hanya dalam mimpi. Setidaknya aku benar-benar merasakan kita bertemu kembali. Setidaknya aku memang selalu berharap kita benar-benar bertemu kembali.

Ah, maaf. Ada ralat sedikit dari tulisanku sebelumnya. Rasanya sedikit kurang pantas menyebut kita. Karena aku dan kamu tetaplah menjadi aku dan kamu bukan kita. Karena aku dan kamu tak pernah menyatu untuk menjadi kita. Karena hanya aku yang berharap untuk aku dan kamu menyatu untuk menjadi kita. Seperti mimpiku semalam yang hanya aku yang bisa merasakan, begitu juga cintaku padamu di artikan. Hanya aku yang bisa merasakan.

" Mimpiku semalam layaknya Diskriminan Kurang Dari Nol. Hanya mimpi, bukan nyata, imaginer, tidak real, hanya dalam imajinasiku belaka."

Saturday, February 9, 2013

Hepaticeae


Hatiku layaknya sebuah lumut hati. 

Ketika lumut hidup di tempat yang lembab. Maka hatiku juga hidup dalam suatu kelembaban cinta. 
Layaknya tempat yang lembab yang kekurangan cahaya matahari, maka hatiku kekurangan cahaya darimu. Ah, bukan kekurangan. Melainkan hatiku tak pernah mendapatkan cahaya darimu sedikitpun.

Sebut hatiku Si Lumut Hati.

Friday, February 8, 2013

Aku Kehilangan

Untukmu yang meninggalkanku begitu saja,

Hari-hariku kini rasanya tak sama lagi. Setelah kepergianmu yang begitu mendadak sore itu. Kepergianmu yang membuatku kelimpungan mencari topangan hidup. Kepergianmu yang membekaskan luka di hatiku.
Aku kehilangan separuh jiwaku. Dia yang menemaniku setiap harinya. Dia yang menemaniku setiap detiknya. Dia yang dulu selalu ada jika aku butuhkan. Dia yang selalu membuat diriku lebih bersemangat untuk melakukan sesuatu. Dia yang pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku belum rela. Aku belum rela kau tinggalkan. Jangan bilang aku harus cari penggantimu karena hatiku tetap terpaut padamu. Aku belum rela. Karena semuanya begitu mendadak. Bahkan tanpa ucapan perpisahan. Kau pergi meninggalkanku sendirian disini.
Lalu bagaimana hidupku kini? Sehari tanpamu saja rasanya sangat tidak berarti. Sehari tanpamu rasanya aku bukan diriku lagi. Aku kehilangan diriku. Aku kehilangan jiwaku. Aku kehilangan dirimu.
Lalu bagaimana hidupku kini? Tanpa ada yang menemaniku lagi.Tanpa ada pelipur lara lagi. Katakan, aku harus bagaimana? Mencari pengganti bukan sesuatu yang mudah.
Aku harap kau akan kembali suatu saat nanti. Ingatlah, kepergianmu yang tanpa ucapan perpisahan selalu menganggapmu akan kembali suatu saat nanti. Aku menunggumu. Kau tahu aku bukan orang yang mudah menyerah dalam hal menunggu. Aku menantimu untuk kembali.

Sekiranya aku memang tetap merasa kehilangan. Separuh jiwaku yang meninggalkanku begitu saja. Bahkan perkenalan kami tak lebih dari waktu lima bulan dan dia pergi begitu saja.

Sekiranya aku memang kehilangan. Aku kehilangan headsetku tersayang....

Tuesday, February 5, 2013

My Fanfiction : Loving You


Title : Loving You 
Author : Minhyuk’s Anae
Rating : T
Genre : Friendship, Romance
Length : Oneshoot
Main Cast :
-          Park Jiyeon
-          Kang Min Hyuk
-          Lee Jin Ki aka Onew
Support Cast :
-          Han Eun Ji (OCs)
-          Other cast
Disclaimer : From author’s imagination. Pure My Imagination.
Note : re-post minhyukanaefanfic.wordpress.com . Happy reading! Don’t forget RCL~
----------------------------------------------***********------------------------------------------------------
Author POV
“ Jiyeonnie!” Teriak seseorang begitu Jiyeon baru sampai pintu kelasnya yang baru. 2 IPA 1. Jiyeon tersenyum begitu menyadari itu Eun Ji.
“ Kita sekelas lagi.” Lanjutnya lalu memeluk gadis itu.
“ Benarkah?” Eun Ji memberinya selembar kertas berisi absensi kelas. Jiyeon tersenyum mengetahui ia akan sekelas lagi dengan sahabatnya ini.
Mata Jiyeon tertarik pada tulisan berwarna merah pada absensi kelas. Kang Min Hyuk. Sebuah nama yang cukup asing di telinganya. Mungkin siswa baru, pikirnya dalam hati.
-***-
“ Nama saya Kang Min Hyuk, pindahan dari Jepang. Kalian bisa memanggil saya Minhyuk. Senang berkenalan dengan anda sekalian.” Ujar seorang namja yang Jiyeon tahu memang murid baru di kelas.
Setelah perkenalan itu, namja tadi duduk di bangku yang tidak terlalu jauh dari Jiyeon. Tiba-tiba Jiyeon menyadari sesuatu. Ada yang tidak beres dengan namja itu, aish bukan dengan namja itu tapi dengan pemikiran Jiyeon tentang namja itu. Jiyeon terus memperhatikannya.
“ Kamu kenapa? Gwaenchanhayo?” Tanya Eun Ji.
Gwaenchanha.” Jawab Jiyeon dan masih memperhatikan gerak-geriknya.
-***-
Jiyeon merebahkan tubuhnya sejenak dan menutup matanya. Ingatannya melayang ke arah seorang laki-laki, sahabat masa kecilnya, Lee Jin Ki. Ia pergi tepat 3 tahun lalu, pergi ke Amerika bersama keluarganya. Jinki, apa kabarmu sekarang?
Hari ini aku bertemu seseorang, Kang Minhyuk dan ia sangat mirip denganmu, Jinki. Jinki apakah itu kamu? Sepertinya tidak karena Minhyuk tak mengenaliku. Jinki kenapa setiap aku menatapnya aku selalu berpikiran itu dirimu? Jinki kenapa rasanya sama? Jinki, aku merindukanmu.
Kurasa Minhyuk dan Jinki memiliki beberapa persamaan. Entahlah itu apa tapi rasanya ada sesuatu yang sama dari mereka. Meski aku sadar betul Minhyuk bukan Jinki.
Minhyuk, Jinki, Minhyuk, Jinki. Argh, kenapa ini membuatku gila?
-***-
“ Permisi, apa namamu Park Ji Yeon?” Jiyeon menoleh,
“ Eh, iya, ada apa?”
“ Kim Seonsaengnim menyuruhku menemuimu. Tugas dari Kim Seonsaengnim.” Ujarnya memberikan sebuah flashdisk kepada Jiyeon.
“ Gomawo.” Ucapnya.
“ Eum, by the way, Kim Seonsaengnim berkata padaku katanya tugas yang ia berikan akan diselesaikan bersama-sama.” Ujarnya kelihatan err sedikit gugup.
“ Bersama-sama?”
“ Iya, tugas kelompok kita. Aku dan kamu.” Jawabnya. Jiyeon mengangguk. Merasakan ada sesuatu yang aneh dibalik penegasan kata “ Aku dan kamu.”
“ Bagaimana jika besok kita kerjakan bersama-sama?” Ajaknya.
“ Boleh.” Jawab Jiyeon membalas senyumannya.
Ia pergi dan secara spontanitas, Jiyeon sendiri tak tahu apa penyebabnya, ia memanggil namja tadi.
“ Minhyuk-ssi.” Panggilnya. Minhyuk menoleh,
“ Ya?”
Aniyo.” Jawabnya sambil menggelengkan kepala. Minhyuk hanya tersenyum dan berlalu pergi.
-***-
Menatap matanya membuatku tenang. Mendengar suaranya membuatku nyaman. Apa yang terjadi padaku? Kenapa rasanya sama seperti dekat dengan Jinki? Oh, Jiyeon, kau harus sadar bahwa Minhyuk bukanlah Jinki. Mereka berbeda.
“ Kenapa?” Tanya Minhyuk yang langsung membuyarkan semua lamunan Jiyeon.
“ Apanya yang kenapa?” Tanya Jiyeon balik yang terlihat kelimpungan.
“ Kau. Melamun. Apa sedang sakit?”
Aniya.”
“ Kau cukup mahir dalam kimia. Rasanya aku beruntung satu kelompok denganmu.” Puji Minhyuk dan yang pasti kedua pipi Jiyeon sekarang sudah memerah.
Gomawo, Minhyuk-ssi.”
“ Minhyuk saja. Terdengar tidak enak jika namaku dipanggil dengan embel-embel ‘ssi’ rasanya terlalu formal.” Protesnya tegas.
“ Baiklah, Minhyuk.”
Minhyuk tersenyum dan entah mengapa tangannya refleks mengacak rambut Jiyeon pelan. Membuat tubuh Jiyeon kaku dan bingung harus berbuat apa.
-***-
“ Jiyeonnie!” Jiyeon menoleh ke suara yang sedari tadi memanggil namanya.
Mwo? Jinki-ya! Omo! Jinki!” Serunya kaget mengetahui siapa yang memanggil namanya tadi. Lelaki itu mendekat dan memeluknya.
Jinki kini lebih tinggi dari 3 tahun lalu, wajahnya pun berubah menjadi lebih tampan.
“ Jinki, aku merindukanmu. Kapan kau kembali ke Korea?” Jinki hanya tersenyum dan tak membalas ucapan Jiyeon.
“ Jinki, di sekolahku ada siswa baru. Namanya Kang Minhyuk. Dia mirip sekali denganmu. Jinki, kenapa setiap aku di dekatnya aku merasa nyaman? Rasanya sama seperti ada di dekatmu. Oh, aniyo, bahkan terasa lebih nyaman. Jinki, mengapa setiap ada di dekatnya otakku berpikir kalau Minhyuk adalah kau? Jinki, mengapa jantungku berdebar saat dekat dengannya? Bahkan kemarin aku tak fokus dengan tugas kimiaku karena terus-terusan ada di dekatnya. Jinki, apa aku mencintainya? Tapi bukankah hatiku hanya untukmu?” Jiyeon memberhentikan ucapannya. Merasa telah kelewatan dengan ucapannya barusan. Karena memang selama ini Jinki tak pernah tahu ia memendam rasa padanya. Jiyeon sendiri tak mengerti kenapa dia bisa sefrontal ini.
“ Jinki, mengapa kau diam saja?” Tanya Jiyeon lagi sedikit mengguncang pundak laki-laki di hadapannya itu. Alih-alih menjawab, Jinki tetap pada kondisinya, tersenyum melihat Jiyeon. Tak menjawab satu pertanyaannya pun. Jinki menutup matanya dan perlahan apa yang ada di hadapan Jiyeon buyar.
“ Jinki!” Teriak Jiyeon terbangun dalam kondisinya yang setengah sadar. Mendapati dirinya berada dalam kamarnya. Tubuhnya berkeringat dan kepalanya pening.
“ Aish, hanya mimpi? Aku bahkan berharap aku bisa secepatnya bertemu Jinki.” Jiyeon memegang kepalanya yang terasa berat dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya yang sudah gelap—karena lampunya sengaja dimatikan—dengan tatapan kosong. Mencerna apa yang baru saja terjadi di mimpinya.
Ia masih ingat betul kata-katanya yang mengatakan Jinki, apa aku mencintainya?
Mencintai Minhyuk? Yang benar saja. Jiyeon bahkan baru mengenalnya kurang dari 2 minggu. Intensitas mereka berbicara dan berkomunikasi pun masih terbilang sedikit. Satu lagi, sangat tidak lucu jika alasannya mencintai Minhyuk hanya karena Minhyuk mirip dengan Jinki. Tapi suara hatinya terus berkata, akan ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. Ada sebuah rasa yang ia rasa lebih dari semua perasaannya terhadap Jinki.
Ya, Minhyuk dan Jinki berbeda. Begitupula perasaanku terhadap Minhyuk berbeda dengan perasaanku terhadap Jinki. Tuhan, bisakah kau bantu aku menemukan sebuah rasa yang rasanya menjadi teka-teki dalam hatiku?
-***-
“ Eun Ji-ya. Aku sedang bingung.” Ucap Jiyeon sedikit merengek manja ke arah Eun Ji.
Waeyo? Apa yang membuatmu bingung?”
“ Kau ingat Jinki, eo? Teman sd sekaligus smp kita.”
“ Eum…ya, aku ingat. Teman dekatmu kan? Cinta pertamamu juga?” Jiyeon melotot.
“ Hahaha, akui saja. Tentu saja aku ingat dengan Jinki. Orang yang selalu kau ceritakan. Wae?”
“ Apa kau pernah berpikiran di kelas kita ada seseorang yang mirip dengan dia?”
“ Minhyuk?” Tebak Eun Ji dan ya, tepat sasaran. Jiyeon mengangguk.
“ Kenapa? Apa kau berpikiran Jinki berubah seperti apa yang biasanya ada di sinetron atau drama tertentu dan sekarang wujud Jinki menjadi Minhyuk?”
“ Yak, itu tidak lucu, Han Eun Ji. Bukan itu maksudku.”
“ Lalu? Apa kau berpikiran Jinki hilang ingatan dan sekarang marganya berubah jadi Kang dan otomatis namanya juga berubah menjadi Minhyuk?” Jiyeon menghela nafasnya panjang.
“ Sepertinya aku salah bercerita dengan orang sepertimu, Eun Ji-ya. Setidaknya aku masih waras dan tidak berpikiran adegan tidak masuk akal pada sinetron-sinetron yang sudah kau tonton itu akan menjadi kenyataan.” Omel Jiyeon bergegas pergi tapi Eun Ji menahannya.
“ Hahahaha aku hanya bercanda, Yeonnie. Apa kau pikir aku segila itu? Hei, hidup itu jangan terlalu dibawa serius! Hahahaha.”
“ Jadi, apa yang akan kau ceritakan? Ada apa antara Minhyuk dengan Jinki?”
“ Aku…merasakan aku jatuh hati pada Minhyuk. Entahlah aku sendiri tak tahu kenapa. Setelah aku sadar betul Minhyuk mirip dengan Jinki. Hatiku selalu berdebar setiap melihat Minhyuk.”
“ Apa kau mencintai Minhyuk hanya karena Jinki?”
“ Pertanyaan yang tepat, Eun Ji-ya. Karena hatiku bertanya-tanya soal itu.”
“ Apakah rasanya sama?”
“ Berbeda. Sepertinya pada Minhyuk ada rasa yang jauh lebih dalam.”
“ Aku hanya mengingatkan, jangan sampai kau jatuh ke Minhyuk hanya karena Jinki. Itu hanya akan menambah rasa sakitmu.” Ujar Eun Ji menggenggam tangan Jiyeon. Menyiratkan simpatinya terhadap sahabatnya ini.
-***-
“ Han Eun Ji bilang untuk sementara waktu kau duduk denganku.” Jawab Minhyuk.
Jinjjayo?”
“ Astaga, Jiyeon. Kau tak percaya padaku?”
“ Percaya kok percaya. Duduk sini.” Ujarku menepuk bangku kosong di sebelahku.
Eun Ji, kau akan kubunuh karena berani-beraninya menyuruh Minhyuk duduk di sebelahku.
“ Yak, aku hanya ingin mengetest perasaanmu terhadap Minhyuk. Ini adalah salah satu cara agar kau tahu perasaanmu yang sebenarnya.” Ujar Eun Ji santai.
“Eun Ji, tapi aku gugup. Bahkan hanya mengangguk pun aku gugup.” Keluh Jiyeon.
“ Kau menyukainya, ku rasa.” Ujar Eun Ji. Jiyeon hanya melengos menatap ke arah lain, otaknya penuh dengan berbagai pikiran.
Menyukai Minhyuk, mencintai Minhyuk, menganggap Minhyuk sebagai Jinki, ketulusan rasanya terhadap Minhyuk, kenyamanannya untuk dekat dengan Minhyuk. Otak dan hatinya penuh dengan pikiran tersebut.
Kenapa ia begitu berlebihan menanggapinya? Bukan dirinya, tapi hatinya dan otaknya. Bekecamuk penuh hanya untuk menemukan sebuah perasaan aneh yang mulai mengganggu pikirannya.
Dulu, Jiyeon tak pernah peduli terhadap lingkungan baru yang tercipta di sekitarnya. Tapi kenapa dengan Minhyuk ia begitu peduli? Bahkan sekarang ia mulai mencari tahu diri Minhyuk yang sebenarnya. Kesukaannya, hobinya, kelebihannya. Kenapa Minhyuk membuatnya seperti ini?
Ditambah lagi sekarang ia sebangku dengan Minhyuk. Sifatnya yang kurang bisa menutupi apa yang sedang terjadi membuatnya takut. Takut Minhyuk tahu mengenai perasaan yang mulai tumbuh padanya. Takut setelah itu Minhyuk menjauh dan hal itu adalah hal yang dibenci Jiyeon. Sama seperti perpisahannya bersama Jinki beberapa tahun lalu.
“ Sesering itukah kau melamun?” Ujar Minhyuk sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah Jiyeon.
“ Hahaha ani. Akhir-akhir ini, sedikit lebih sering.” Jawab Jiyeon.
Wae? Ada masalah?” Jiyeon hanya menggeleng. Minhyuk tertawa kecil,
“ Aku terlalu kepo ya?” Tanya Minhyuk.
“ Gak juga, Hyukkie hahaha.” Jawab Jiyeon.
“ Hyukkie?”
Mianhae. Ku rasa panggilan itu cocok untukmu.”
Gwaenchanda. Hyukkie, panggilan yang bagus.” Ujar Minhyuk sedikit mengacak rambut Jiyeon.
“ Berminat ikut ke kantin?” Ajak Minhyuk. Jiyeon mengangguk.
“ Boleh.” Jawabnya mantap.
“ Kau mau pesan apa?” Tanya Minhyuk pada Jiyeon.
“ Jus strawberry.” Jawab Jiyeon.
Ahjumma, jus jeruk satu dan jus strawberry satu.” Pesan Minhyuk dan kami duduk di salah satu meja yang disediakan di kantin.
“ Kau…asli orang Jepang? Atau orang Korea yang pindah ke Jepang? Atau blasteran Korea-Jepang?” Tanya Jiyeon.
“ Kenapa memang?”
“ Cuma nanya.” Jawab Jiyeon santai.
“ Aku asli orang Korea, Ilsan tepatnya. Tapi ketika usiaku 6 tahun, Appa mendapat tugas untuk mengurus perusahaannya di Jepang. Aku jadi ikut pindah dan sekarang Appa mengelola perusahaannya di Korea.” Jiyeon hanya mengangguk-angguk sambil menyesap jus strawberrynya.
“ Aku punya teman, dia sangat mirip denganmu.” Entah apa penyebabnya, Jiyeon mulai mengungkit masalah itu lagi. Rasanya pernyataan tersebut membuat hatinya cukup lega.
“ Oh ya? Apa dia sekolah disini juga?” Tanya Minhyuk.
Ani. Dia di Amerika sekarang.” Jawab Jiyeon. Tersirat sedikit rasa bersalah mengungkit Jinki lagi. Minhyuk hanya mengangguk kecil.
Jiyeon, jangan mengungkit Jinki di depan Minhyuk. Kau harus ingat Minhyuk bukan Jinki. They are different.
-***-
“ Kau belum pulang?” Tanya Minhyuk saat ia kembali ke kelas untuk mengambil tasnya.
“ Belum. Aku sedang menyelesaikan project.” Jawab Jiyeon yang tetap berkutat dengan laptopnya.
“ Project?”
“ Project menulis.”
“ Menulis apa?” Tanya Minhyuk yang mulai tertarik. Minhyuk kembali menaruh tasnya dan mendekat ke arah Jiyeon.
“ Cerita pendek. Teenlit.” Jawab Jiyeon.
“ Wow, aku suka dengan yeoja yang suka menulis.” Ujar Minhyuk. Jiyeon spontanitas menatap Minhyuk ketika ia mengucapkan kata ‘suka’.
“ Apa aku boleh membacanya?” Tanya Minhyuk mendekat ke layar laptop Jiyeon.
Andwae! Ini belum selesai! Lagipula ini cerita perempuan.” Jawab Jiyeon menutup layar laptopnya. Bisa mati dia kalau Minhyuk tahu ia sedang menulis pengalamannya bersama Minhyuk. Meski mereka baru mengenal selama 1 bulan.
“ Cerita perempuan? Mana ada cerita dibatasi berdasarkan jenis kelamin hahaha.” Tawa Minhyuk mengambil tasnya dan beranjak keluar.
“ Hyukkie!”
Ne?” Minhyuk menghentikan langkahnya.
“ Kau…mau kemana? Mau pulang?” Tanya Jiyeon.
“ Aku ingin ke ruang musik. Latihan drum. Mau ikut?”
Anniyo. Aku masih mau menyelesaikan project ini.” Jawab Jiyeon menunjuk-nunjuk laptopnya.
“ Aku duluan, ne? Annyeong!” Jiyeon melaimbaikan tangannya sambil tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya. Mencoba fokus kepada tulisannya lagi.
Jiyeon melangkahkan kakinya di halaman sekolah yang sudah mulai sepi. Ia teringat Minhyuk, apa Minhyuk sudah pulang?
Jiyeon terus melangkahkannya sampai halte bus.
“ Berminat pulang bersama, Ny. Park?” Seseorang menghampiri Jiyeon. Menepuk jok belakang sepedanya.
“ Memangnya kau pulang kemana, Mr. Kang?” Sambut Jiyeon.
“ Apartement dekat Myeongdeong. Ayolah, kita pulang bersama juga.” Jiyeon bangun dan hatinya melawan otaknya yang menolak.
“ Baiklah. Perumahan dekat Han Kang.” Jiyeon duduk di belakang Minhyuk dan menepuk pundak Minhyuk.
Hati Jiyeon berdebar. Terasa seperti kisah pada fanfiction yang ia tulis. Ini untuk pertama kalinya ia berboncengan dengan seorang laki-laki. Minhyuk mengayuh sepedanya lebih kuat, membuat Jiyeon spontan mencengkeram seragam Minhyuk dan segera melepasnya lagi.
Spontan dan argh Minhyuk, kau harusnya bertanggung jawab atas perbuatanmu yang membuat jantungku berdebar 1000000x lebih kencang.
“ Gomawo, Hyukkie.” Ucap Jiyeon begitu mereka sampai di depan gerbang rumah Jiyeon.
“ Cheonmaneyo. Senang bisa mengantarkanmu.” Balas Minhyuk.
“ Mau ke mampir dulu?”
“ Hmm, lain kali aku akan mampir, Yeonnie. Hari sudah cukup sore. I have to leave first.”
“ Baiklah, Josimhaneun.” Ucap Jiyeon melambai-lambaikan tangannya.
Ne. Daaah.” Ucap Minhyuk kembali mengayuh sepedanya meninggalkan Jiyeon. Jiyeon menatap Minhyuk yang lama-lama menjauh.
Minhyuk, neoneun nae simjangeun dugeun dugeun tteolyeowa.
-***-
Jiyeon tersenyum menatap layar handphonenya. Alih-alih membalas, yang ia lakukan justru tersenyum dan memandanginya.
From : Kang Min Hyuk
Hi, Ny. Park. Kau sedang apa? Tiba-tiba aku memikirkanmu dan project yang kau buat tadi siang. Aku…penasaran dengan ceritanya.
Jiyeon membaca ulang bagian “ Tiba-tiba aku memikirkanmu” dan terkekeh pelan. Sudut wajahnya memanas, mungkin wajahnya sudah memerah sekarang.
To : Kang Min Hyuk
Sebegitu penasarannya kah kau dengan projectku, Tuan Kang? Aku kurang yakin drummer sepertimu menyukainya
Meski jika dibaca selintas, plot yang Jiyeon buat tak terlalu mencirikan cerita itu mirip dengan kejadiannya dengan Minhyuk. Tetap saja ia malu.
From : Kang Min Hyuk
Memangnya kenapa? Kau belum tahu aku drummer melankolis? Hahaha menyedihkan memang. Tapi aku suka teenlit. Setidaknya aku juga punya hobi yang sama sepertimu, meluangkan waktu untuk menulis cerita karangan remaja.
Jiyeon tercengang, Minhyuk suka menulis juga?
To : Kang Min Hyuk
Benarkah? Aku jadi penasaran seperti apa cerita yang kau buat, Tuan Kang.
From : Kang Min Hyuk
Kau penasaran? Aku juga. Tidak mau tahu, besok temui aku dan bawa plot itu. Aku penasaran dengan isinya!
To : Kang Min Hyuk
Hyukkie, besok itu hari minggu. Kau lupa?
From : Kang Min Hyuk
Besok memang hari minggu. Kenapa memangnya? Apa ada peraturan yang melarang kita bertemu di hari minggu? Besok aku akan menjemputmu, bersiap-siap pukul 9 pagi.
To : Kang Min Hyuk
Menjemputku?
From : Kang Min Hyuk
Ne! ayolah, kita refreshing sebentar. Setidaknya kau tidak harus selalu berkutat dengan kimia yang menjadi kesukaanmu itu. Berada di dekatmu membuat hatiku tenang.
Jiyeon tercengang menatap pesan terakhir yang Minhyuk berikan. Hatinya berguncang. Antara senang dan sedih. Senang dengan pernyataan-pernyataan Minhyuk yang seolah memberi lampu hijau untuknya. Sedih karena ia takut perasaannya terhadap Minhyuk belum sepenuhnya ia mantapkan.
Handphone-nya kembali berdering. Sebuah panggilan masuk dari Kang Minhyuk.
“ Yeoboseyo.”
“ Yeonnie, kenapa kau tak membalas pesanku?” Protes Minhyuk dari seberang. Jiyeon terkekeh pelan mendengar celotehan Minhyuk yang terbilang cukup kekanak-kanakan, tapi Jiyeon suka ^^
“ Ah, jeongmal mianhae, Hyukkie. Aku masih sedang mengetik untuk membalasnya.”
“ Oh, arasseo. Jadi bagaimana? Besok aku jemput, eo?” Ajak Minhyuk.
Ne.” Jawab Jiyeon.
“ Jam 9 kau harus sudah siap! Awas saja telat.” Ancam Minhyuk.
“ Iya iya Minhyuk cerewet.” Ledek Jiyeon.
Mwoya? Kau meledekku? Aish.”
“ Kau memang cerewet, Hyukkie.”
“….”
“ Hyukkie, kau masih disitu?” Panggil Jiyeon karena beberapa detik mereka saling diam.
“ Iya, aku masih disini. Ingat jam 9 dan bawa plot-mu.”
by the way, memangnya besok kita akan pergi kemana?”
“ Rahasiaku, Ny. Park.” Ujar Minhyuk.
“ Baiklah.”
“ Apa kau sudah makan?”
“ Belum dan sepertinya tidak. Ini sudah pukul 7 malam.”
“ Kau harus makan, Ny. Park.”
“ Kalau aku makan malam-malam. Nanti aku akan gemuk.”
“ Memangnya kenapa kalau kau gemuk? Aku bahkan tidak peduli.”
“ Maksudmu?”
Aniyo, abaikan. Kau harus makan, nanti kalau penyakit maagmu kambuh bagaimana.”
“ Aku tak punya penyakit maag, Hyukkie.”
“ Ya…siapa tahu kan kalau keseringan telat makan.” Jawab Minhyuk yang lama-lama terlihat semakin tidak jelas.
“ Hm, yasudah. Kututup duluan ne teleponnya?”
“ Iya.”
“ Jangan lupa makan, Yeonnie. Besok pukul 9 dan bawa plot.”
“ Iya, Tuan Kang aku ingat.”
Bye.”
Bye.” Jiyeon menutup sambungan teleponnya.
Ia menatap teleponnya aneh. Aneh dengan perlakuan Minhyuk malam ini. Mereka terlihat seperti sepasang….
Ah, tidak, aku tidak boleh terlalu kepedean. Siapa tahu Minhyuk hanya peduli padaku dan tidak lebih dari itu?
-***-
Jiyeon terlihat gusar. Padahal jamnya masih menunjukkan pukul 08:45. Ditangannya sudah menggenggam tas dengan isi handphone, dompet, dan plot cerita pendeknya.
“ Jiyeon, ada temanmu diluar. Namanya Kang, aduh Kang siapa ya? Eomma lupa.” Panggil Eomma dari luar kamar.
“ Kang Min Hyuk, Eomma!”
“ Ah, iya! Kang Min Hyuk.”
“ Eomma, aku pamit ya. Mau pergi dulu dengan Minhyuk.”
“ Sampai jam berapa?”
Mollaseo.”
“ Baiklah, Josimhaneun.”
Ne, Eomma.” Jiyeon mengecup pipi Eomma-nya lalu bergegas keluar.
“ Hyukkie, Kajja!
-***-
Minhyuk’s POV
Mataku membalas tatapan seorang yeoja yang memang sedari tadi menatapku. Apakah aku aneh? Rasanya tidak juga.
Namanya Park Ji Yeon. Seorang yeoja yang baik hati, pintar dalam pelajaran kimia, membuatku nyaman di dekatnya.
Aku sendiri tidak benar-benar sadar kapan aku mulai menyukainya. Mungkin semenjak pertama kami bertatapan, atau mungkin semenjak tugas kimia, atau mungkin semenjak kami duduk bersama. Aku bahkan berterima kasih kepada Han Eun Ji yang dengan kebaikan hatinya mau merelakan aku duduk dengan sahabatnya itu.
Menatapnya setiap aku ada disampingnya merupakan salah satu anugerah terindah bagiku. Melihat senyum dan tawanya yang lepas membuatku merasa nyaman. Bisa berada disampingnya membuatku bahagia. Tapi, aku ingin yang lebih dari ini.
Meski aku sendiri tak begitu yakin Jiyeon punya perasaan yang sama sepertiku. Bahkan, jika ia tak punya perasaan padaku, aku bersedia memberinya waktu bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Memberinya waktu sampai ia membuka hatinya untukku.
Terdengar menggelikan memang. Aku baru mengenalnya kurang lebih 1 bulan tapi hatiku seakan benar-benar memantapkan rasaku untuknya.
Jiyeon, nan neol saranghae~
-***-
Eotteohkae?” Tanya Jiyeon menyadari perubahan wajah Minhyuk setelah membaca karangannya.
“ Bagus. Aku cukup terbawa suasananya.”
“ Hahaha yang benar saja, Hyukkie. Membaca sebuah plot di tengah keramaian seperti ini bisa membuatmu terbawa?”
“ Mungkin karena latarnya kebanyakan di Han Kang dan sekarang kita sedang di Han Kang. Aku jadi terbawa.”
By the way, kenapa terlalu banyak lokasi di Han Kang?”
“ Aku terinspirasi dari Han Kang. Memandang arusnya yang tenang dan memang cukup terbawa dari beberapa drama yang ku tonton membuat Han Kang memiliki nilai khusus untukku. Aku bahkan beruntung eomma dan appa memilih rumah yang lokasinya tak terlalu jauh dengan Han Kang.” 
“ Apa cerita ini terinspirasi dari kisah hidupmu?”
“ Tidak juga. Namun terkadang aku berharap kisahku berakhir bahagia seperti plot yang aku buat hahahaha.”
“ Apa kau sedang jatuh cinta?”
“ Kenapa memangnya, Hyukkie?”
“ Entahlah, feeling-ku mengatakan plot yang kau buat seperti menggambarkan kisah pribadimu.”
“ Mungkin.  Mungkin aku sedang jatuh cinta.” Jawab Jiyeon pelan.
“ Hyukkie, bagian mana yang menjadi favoritemu?” Tanya Jiyeon berusaha mengalihkan pembicaraan.
“ Ketika laki-laki bernama Kwon Chul Jae menembak Lee Hyo Min ditepi Han Kang.” Jawab Minhyuk sambil tersenyum.
“ Hahaha aku juga suka part itu.”
“ Apa kau berharap akan ada seseorang yang menembakmu di Han Kang?”
“ Sedikit, jika ada hahaha. Tapi aku tidak yakin ada.” Jawab Jiyeon sedikit berdebar. Jiyeon tertawa menutupi rasa canggungnya.
“ Jiyeon, aku mencintaimu.” Ucap Minhyuk.
Jiyeon terdiam. Tubuhnya melemas. Entah senang ataupun sedih. Matanya membalas tatapan Minhyuk.
Will you be my girlfriend?” Tanya Minhyuk. Seperti plot yang sudah ia buat, seorang laki-laki, yang sebenarnya itu Minhyuk dengan beberapa perubahan, menyatakan perasaan terhadap seorang gadis, yang sebenarnya itu dirinya dengan beberapa perubahan.
Entah kenapa hatinya gusar. Seperti yang sudah ia katakan sebelumnya. Hatinya ragu. Ia menyukai Minhyuk tapi ia takut ia belum tulus. Meski lama-lama ia sadar perasaannya terhadap Jinki hanya sebatas persahabatan. Meski lama-lama ia sadar perasaannya terhadap Minhyuk terasa jauh lebih dalam. Tapi ia butuh waktu.
“ Hyukkie, apa aku boleh meminta waktu untuk menjawabnya?” Minhyuk tersenyum mengangguk.
“ Berapa lamapun, aku akan selalu menunggu jawabanmu.”  Jawab Minhyuk.
-***-
Gomawo, Hyukkie. Mau ke dalam dulu?” Tanya Jiyeon begitu sampai depan gerbang rumahnya.
“ Lain kali saja, Jiyeon.”
“ Hyukkie, aku akan memikirkan jawabannya baik-baik.”
Ne. Jangan terlalu dipikirkan, kau bisa menjawabnya kapan saja.”
Mianhae, Hyukkie.”
“ Hush, sudah. Tidak ada yang salah.” Ujar Minhyuk mengusap kepala Jiyeon sebentar.
“ Aku duluan, ne? Annyeong.”
Ne.”
Jiyeon melangkahkan kakinya dan membuka gerbangnya, matanya terbelalak menemukan siapa yang ada di dalam ruang tamu rumahnya.
“ Jinki?”
“ Hai, Yeonnie. Kau sudah pulang? Akhirnya. Aku sudah menunggumu selama 2 jam.” Ujar Jinki seraya memeluk Jiyeon yang masih diam mematung.
“ Apa kabarmu?” Tanya Jinki yang kini mulai berjalan ke arah pekarangan belakang rumah Jiyeon, bersama Jiyeon juga tentunya.
“ Baik. Kau?”
“ Baik juga. Hei, apa kau tidak merindukanku?” Tanya Jinki yang menyadari sikap Jiyeon yang biasa saja. Tak seceria 3 tahun lalu.
“ Merindukanmu? Tentu saja, ayam!” Jawab Jiyeon lalu tertawa. Mulai membiasakan diri lagi dengan kehadiran Jinki.
Gamsahamnida, Park Ahjumma.” Ucap Jinki begitu Eomma memberi mereka minuman dan beberapa makanan ringan.
Eomma, kenapa kau tidak bilang hari ini Jinki datang?”
“ Jinki meminta Eomma merahasiakannya, Jiyeon.” Jawab Eomma lalu berlalu pergi.
“ Benarkah?” Tanya Jiyeon masih memikirkan perkataan Eomma-nya tadi. Jinki mengangguk sambil menyesap teh hangatnya.
“ Aku begitu merindukan Korea dan kau tentunya hahaha.” Ujar Jinki sambil mencubit Jiyeon. Jiyeon hanya tersenyum.
Entah apa yang terjadi pada hatinya, yang pasti hatinya tak seberbunga-bunga dulu. Ia merasa biasa saja ada di dekat Jinki. Bahkan ketika Jinki mengatakan ia merindukannya pun terasa sangat flat. Pikirannya melayang ke kejadian tadi malam, ia rasa hatinya semalam lebih berbunga-bunga dibandingkan sekarang. Apakah artinya….?
“ Kau akan tinggal di Korea lagi, Jinki-ya?” Tanya Jiyeon membuka percakapan yang sempat terhenti. Mengubah atmosfer yang mulai canggung menjadi tidak.
Ani. Sekolahku libur 2 minggu.” Jawab Jinki.
“ Berarti kau hanya akan ada disini selama 2 minggu, eo?” Tanya Jiyeon sedikit kecewa.
Ani. Hanya 1 minggu. 1 minggu lagi aku akan membereskan keperluan sekolahku di Amerika.” Jawab Jinki.
“ Kenapa? Kau masih merindukanku ya? Atau kau sangat takut kehilanganku?”
“ Aish, apa yang kau bicarakan Jinki-ya? Hahahaha.”
“ Aku ingin mengajakmu ke Lotte World. Tapi kapan ya? Seminggu ini kau full sekolah kan?”
“ 3 hari lagi aku libur. Tanggal merah.”
“ Baiklah. Kita kesana nanti.”
-***-
Jiyeon melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Hatinya berdebar mengetahui hari ini dia harus bertemu Minhyuk, duduk disamping Minhyuk, dan dia belum sempat memikirkan jawaban pertanyaan kemarin.
Hati Jiyeon bergetar melihat Minhyuk sedang tertawa bersama teman-temannya yang lain. Jika ia menerimanya, ia takut salah ambil keputusan dan nanti akan menyakiti Minhyuk. Jika ia menolaknya, Minhyuk akan sakit dan dia sendiri akan sakit menerima keputusan tersebut. Jiyeon….dilema.
“ Hi, Jiyeonnie.” Sapa Minhyuk begitu Jiyeon duduk disampingnya. Jiyeon hanya tersenyum membalas sapaan tersebut. Suasana canggung dan Jiyeon tahu Jiyeon yang membuat segalanya canggung.
Jiyeon mencintai Minhyuk tapi Jinki? Argh, mengapa Jinki harus datang disaat ia harus memutuskan sesuatu.
“ Kau kenapa?” Tanya Minhyuk sambil membereskan buku-bukunya di meja, waktu pulang.
Gwaenchanhayo?” Tanya Minhyuk sambil meletakkan telapak tangannya ke kening Jiyeon.
Nan gwaenchanha, Hyukkie.” Jawab Jiyeon sambil tersenyum.
“ Apakah soal kemarin membuatmu khawatir? Maaf…” Ucap Minhyuk.
“ A? Bukan, Hyukkie. Justru aku yang minta maaf karena belum memberimu jawaban, belum untuk hari ini.” Ujar Jiyeon.
“ Harus kubilang berapa kali, Yeonnie? Aku tak menuntutmu memberimu jawaban secepatnya. Kau bisa menjawabnya kapan saja dan jangan terlalu pikirkan aku. Pikirkan perasaanmu, itu lebih penting menurutku. Geogjeonghajima.” Minhyuk tersenyum sambil mengusap puncak kepala Jiyeon.
Gomawo, Hyukkie. Gomawo sudah mengorbankan perasaanmu demi perasaanku.” Ujar Jiyeon tersenyum, masam. Minhyuk mengangguk sambil tersenyum, membuat kedua matanya hilang (lagi), sesuatu yang paling Jiyeon suka semenjak mereka bertemu, dan Minhyuk memilih pergi dari kelas untuk pulang.
-***-
“ Jiyeon, kau mau main apa lagi?”
Mollaseo, aku sudah capek, Jinki.” Jawab Jiyeon.
“ Jinki-ya.” Panggil Jiyeon.
“ Hm?”
“ Aku lapar.” Ujar Jiyeon sambil mengelus perutnya.
Jinki tertawa,
“ Aku juga. Kajja! Kita cari makan!”
“ Ini…foto siapa?” Tanya Jinki yang sedang meminjam handphone Jiyeon.
“ Temanku.” Jawab Jiyeon.
“ Namanya?” Tanya Jinki lagi.
“ Kamu kepo sih? Ayo makan lagi. Itu ayammu masih banyak.” Ujar Jiyeon.
“ Aku sudah kenyang. Yeonnie, jawab aku.” Jiyeon mengacuhkannya.
“ Dia pacarmu ya?” Tebak Jinki sambil setengah menggodanya.
Ani! Dia Minhyuk, temanku.”
“ Tapi kenapa foto kalian dijadikan wallpaper handphone-mu?” Goda Jinki lagi, penasaran dengan namja yang ada di handphone sahabatnya.
“ Yak, memangnya tidak boleh? Aku juga pernah memasang foto kita.” Ujar Jiyeon. Jinki tertawa,
“ Apa kau menyukainya?”
“ Menyukai siapa?”
Namja ini.. siapa namanya tadi? Minhyuk, eo?” Tanya Jinki. Jiyeon terdiam.
Menyukai Minhyuk? Ia mungkin dikatakan bukan sekedar menyukainya tapi sudah dalam kadar mencintainya.
Molla.”
“ Aish yang benar? Aigoo…kau tak mau jujur dengan sahabatmu sendiri?”
Ya, Jinki kita memang hanya bersahabat dan wait! Kenapa hatiku biasa saja? Dulu, setiap kali kau bilang kita hanya bersahabat, hatiku terasa sakit tapi kenapa sekarang tidak?
Jja! Sudah kutebak dari beberapa hari yang lalu, kau sedang jatuh cinta! Hahahaha. Waaah nae Jiyeon sudah jatuh cinta.” Tawa Jinki. Jiyeon mendelik, nae Jiyeon?
“ Aaaa, sudah! Kenapa harus membahas ini?” Ujar Jiyeon menarik handphone-nya.
“ Kenapa wajahmu memerah? Hahahaha! Sudah ku bilang kau jatuh cinta! Hahaha.” Tawa Jinki lagi.
“ Yak! Jinki-ya! Jangan goda aku lagi aish dasar jelek!” Jiyeon mendengus kesal.
Chakkaman, aku ada telepon.” Ujar Jinki dan pergi beberapa meter dari tempat mereka.
Jiyeon berpikir lagi. Ini sungguh aneh. Perasaannya sudah tidak sama dengan 3 tahun lalu. Ia merasakan selama ini bukan cinta yang ia rasakan terhadap Jinki melainkan rasa sayang yang tumbuh karena mereka sudah bersama sejak kecil. Sayang terhadap persahabatan. Jinki bukan cinta pertamanya, karena sekarang ia sudah tak merasakan apa-apa. Ia tetap nyaman berada dekat Jinki yang humoris dan membuatnya selalu tertawa tapi dibalik itu semua rasa nyamannya berbeda dengan apa yang ia rasakan ketika berada di dekat Minhyuk. Ketika bersama Minhyuk, hatinya merasa tenang dan enggan jauh darinya. Ia…
“ Hei, jangan melamun!”
“ Hyukkie?”
“ Yak! Siapa yang kau panggil? Aku Jinki, Yeonnie-__-” Ujar Jinki kembali duduk di hadapan Jiyeon.
“ Oh, Jinki-ya. Mianhae.”
Jiyeon bodoh! Kenapa bisa memanggil Jinki menjadi Minhyuk? Kurasa, karena Minhyuk yang biasanya mengingatkanku jangan suka melamun. Aku jadi merindukannya hihihi.
“ Tunggu! Tadi kau panggil aku siapa? Hyukkie? Hyukkie siapa?” Tanya Jinki.
“Aish jangan kepo deh. Kenapa setelah dari Amerika kamu jadi kepo, Jinki-ya?” Jinki hanya tersenyum.
“ Um, Jiyeon tadi Eomma telepon katanya kita harus pulang. Katanya ada sesuatu yang harus dibicarakan.” Ucap Jinki. Jiyeon hanya mengangguk dan mereka pulang.
-***-
Mwo? Kau harus pulang malam ini?” Jiyeon terbelalak dengan apa yang baru saja Jinki katakan.
Ne. Hee Jin sakit dan aku harus menemaninya disana.” Ujar Jinki.
“ Hee Jin? Nuguya?” Tanya Jiyeon.
Nae yeojachingu.” Jawab Jinki. Yeojachingu?
“ Eum, baiklah. Semoga dia lekas sembuh.” Ujar Jiyeon menepuk bahu Jinki.
Mianhae.” Ucap Jinki. Jiyeon hanya mengangguk,
Gwaenchanha. Kapan kau pulang?”
“ Nanti malam pukul 8.”
“ Aku akan ikut mengantarmu ke bandara ya?”
“ Tentu saja kau harus ikut.”
-***-
Jinki tak melepas genggaman tangannya dengan tangan Jiyeon.
“ Aku akan merindukanmu.” Ucapnya.
“ Aku juga.” Balas Jiyeon setengah menangis. Perasaannya perih seperti 3 tahun lalu. Menyadari sahabat terbaiknya harus jauh lagi dari sisinya.
“ Aku akan ke Korea lagi. Mungkin tahun depan. Serta aku berjanji, ketika aku pulang ke Korea, kau akan menjadi orang pertama yang akan aku temui.” Ujar Jinki lalu memeluk Jiyeon.
Air mata Jiyeon tumpah membasahi beberapa bagian jaket yang dikenakan Jinki.
Uljima.”
“ Jinki, aku menyayangimu.”
“ Eum, aku juga.” Jawab Jinki melepas pelukannya dan menghapus air mata di pipi Jiyeon sambil tersenyum.
“ Aku harus pergi sekarang.” Ujar Jinki sambil menunjuk ke arah jam tangannya. Jiyeon hanya mengangguk,
“ Jinki, hati-hati disana.” Jinki mengangguk.
“ Jinki, salam untuk yeojachingu-mu. Semoga dia lekas sembuh dan kalau kau main ke Korea, ajak dia. Agar jika dia sakit, kau bisa merawatnya disini.” Ujar Jiyeon. Jinki terkekeh,
“ Ide yang bagus. Akan kuusulkan kepada Hee Jin.”
Annyeong, Yeonnie. Kau harus jaga dirimu baik-baik juga disini. Serta kalau aku bawa Hee Jin kesini, kau juga harus pertemukan aku dengan Minhyuk. Kita bisa double date nanti hahaha.”
“ Minhyuk?”
Annyeong!” Seru Jinki sambil melambaikan tangannya. Jiyeon membalas lambaian tangannya.
“ Minhyuk? Double date? Ide yang bagus, Jinki-ya.” Ujar Jiyeon pelan sambil tersenyum.
-***-
Minhyuk’s POV
Aku menginjakkan kakiku ke bandara. Malam ini aku akan menjemput Appa yang akan pulang dari Jepang. Meski aku dan Eomma sudah menetap di Korea beberapa bulan yang lalu, tapi seminggu sekali Appa tetap bolak-balik ke Jepang.
Mataku terfokus pada pemandangan sepasang eum sepertinya sepasang kekasih yang berdiri tak terlalu jauh dariku. Mataku terbelalak melihat siapa mereka, sang yeoja adalah Jiyeon. Ya, Park Jiyeon, yeoja yang cukup membuat hariku tak tenang beberapa hari ini.
Jiyeon bersama seseorang? Namja? Apakah itu namjachingu-nya? Tapi setahuku dia masih single. Wait! Mereka berpelukan? Hatiku…hancur.
Itukah alasan Jiyeon menunda jawabannya? Membuatku berada diambang ketidakpastian. Jiyeon punya namjachingu? Kenapa dia tidak bilang dari awal?
Meski hatiku hancur dan sakit, tentu saja. Tapi aku teringat akan ucapanku beberapa waktu lalu.
Aku akan selalu menunggu Jiyeon. Walaupun itu harus memakan waktuku hingga 10 tahun lamanya.
Menunggu. Hei, bukankah menunggu bukan hanya menunggu jawaban? Menunggu seseorang yang sudah punya pacar juga berarti menunggu kan? Meski rasanya terlalu jahat bagiku untuk mendoakan mereka agar secepatnya berpisah.
Aku…haruskah aku tetap menunggu? Atau aku harus menyerah sampai disini?
-***-
Author POV
“ Jinki sudah kembali lagi ke Amerika?” Tanya Eun Ji. Jiyeon mengangguk.
“ Bukankah ia bilang liburannya di Korea selama 1 minggu? Sedangkan ia baru 3 hari ada disini kan?”
Yeojachingu-nya sakit dan ia minta Jinki untuk merawatnya.” Jawab Jiyeon.
Yeojachingu? Dia sudah punya yeojachingu?” Jiyeon mengangguk.
“ Kau…bagaimana?”
“ Apanya yang bagaimana?”
“ Perasaanmu. Bagaimana? Sakitkah mengetahui Jinki sudah punya pacar?” Tanya Eun Ji.
Jiyeon diam sejenak lalu menggeleng mantap.
Ani. Aku biasa saja, justru aku berpesan kepada Jinki jika ia ke Korea lagi ia harus membawa pacarnya itu.” Jawab Jiyeon memastikan.
Jinjja?!” Jiyeon mengangguk.
“ Lalu bagaimana dengan pertanyaan Minhyuk? Apa kau sudah memutuskannya?” Tanya Eun Ji.
-***-
Jiyeon merasa aneh dengan perlakuan Minhyuk 2 hari ini. Terhitung mulai kamis dan jumat kemarin. Selama duduk bersama Minhyuk, Minhyuk lebih banyak diam. Apa dia sudah lelah menunggunya?
“ Hyukkie, kau kenapa?” Tanya Jiyeon begitu bel pulang berbunyi dan seluruh kelas sudah beranjak pulang. Hanya mereka berdua yang tersisa.
“ Aku? Aku gak kenapa-kenapa.” Jawab Minhyuk.
Really? 2 hari ini kau beda sekali. Apa kau marah padaku?”
“ Marah? Memang kau salah apa?” Tanya Minhyuk sedikit ketus. Mencoba melaraskan hatinya yang sedang beradu ketat dengan otaknya.
Ia ingin bertahan tapi ada sesuatu yang membuatnya harus menyerah. Tapi sepertinya keinginannya untuk bertahan jauh lebih kuat melawan keinginannya yang ingin menyerah.
Jiyeon hanya diam. Apakah Minhyuk marah padanya? Dia salah apa? Tentu saja dia salah karena harus merelakan Minhyuk selalu menunggunya.
“ Apa kau sudah lelah?” Tanya Jiyeon. Minhyuk diam.
Mereka berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Minhyuk dengan pikirannya—Jiyeon sudah punya namjachingu, artinya kesempatannya untuk mendapatkan Jiyeon sangat sedikit. Mengharapkan mereka putus rasanya terlalu jahat, haruskah ia bahagia di atas penderitaan orang lain? Menunggu lama bukan masalah terpenting baginya tapi melihat ia akan bahagia diatas penderitaan orang lain rasanya terlalu menyakitkan. Serta Jiyeon dengan pemikirannya—apakah Minhyuk sudah lelah menunggunya? Atau jangan-jangan Minhyuk sudah tak mau menunggunya lagi? Apakah disaat ia sudah memantapkan perasaannya, Minhyuk akan pergi? Apakah kesalahannya yang terlalu plin-plan membuatnya tak bisa mendapatkan cinta yang ia inginkan? Jiyeon merasa sangat bersalah.
“ Aku pulang dulu.” Ujar Minhyuk bangkit dari bangkunya,
“ Kang Minhyuk.” Panggil Jiyeon membuat langkah Minhyuk tertunda.
“ Apakah tawaranmu waktu itu masih berlaku untukku sekarang?” Tanya Jiyeon.
 “ Apakah kau masih mencintaiku?” Minhyuk menoleh untuk kali ini,
“ Tentu saja. Aku masih menunggu jawaban itu dan aku tetap mencintaimu.” Jawab Minhyuk mantap. Tak peduli dengan otaknya yang berkecamuk mengingat kejadian hari rabu malam itu.
Jiyeon mendekat ke arah Minhyuk.
“ Sudah kuputuskan, seharusnya dari awal sudah kuputuskan, maaf sudah menunggumu terlalu lama dan maaf mungkin dan sepertinya aku telah menyakitimu. Aku juga mencintaimu, Minhyuk.” Ujar Jiyeon.
Minhyuk terdiam mematung. Mimpikah?
“ Apakah kau sungguh-sungguh mencintaiku?”
“ Tentu saja, Minhyuk.”
“ Bukankah kau sudah punya namjachingu?”
“ Memang aku sudah punya namjachingu.”
“ Lalu kenapa kau menerimaku?”
“ Minhyuk, apakah IQ-mu menurun? Tentu saja aku punya namjachingu. Karena aku sudah menerimamu, otomatis kau jadi namjachingu-ku kan?”
“ Maksudku, apa tidak ada namja lain selain aku?”
“ Apa yang kau bicarakan, Hyukkie?”
“ Kemarin aku melihat kau berpelukan dengan seorang namja di bandara. Bukankah itu namjachingu-mu?”
“ Dia Lee Jinki, temanku.”
“ Jadi kau tak punya namjachingu?”
“ Minhyuk, harus ku ulang berapa kali, aku sudah punya namjachingu.”
“ Astaga, benar. Dan itu aku, eo?”
“ Tentu saja.” Jawab Jiyeon. Minhyuk memeluk Jiyeon sambil tersenyum. Menyadari seseorang yang ia cintai juga mencintainya dan pemikirannya kala itu salah besar.
Terima kasih, Tuhan.
-***-
“ Jiyeon, pelan-pelan.” Ujar Minhyuk sedikit tergesa-gesa.
“ Kita sudah terlambat 2 menit, Minhyuk.”
“ Astaga baru 2 menit, Jiyeon.” Jiyeon tak menghiraukannya.
“ Ok, baiklah, seharusnya aku memang tahu dari awal kau tidak pernah suka terlambat.” Omel Minhyuk.
“ Yak, JINKI-YA!” Teriak Jiyeon sambil melambai-lambaikan tangannya. Laki-laki yang dipanggil Jinki itu menoleh dan membalas lambaian tangannya serta mendekat ke arah pasangan tersebut.
“ Jiyeon, kenalkan, yeojachingu-ku, Shin Hee Jin.” Ujar Jinki.
“ Shin Hee Jin imnida.”
“ Park Ji Yeon imnida.”
“ Aaa, Jinki-ya~ perkenalkan ini namjachingu-ku, Kang Min Hyuk.” Ujar Jiyeon.
“ Kang Min Hyuk imnida.”
“ Lee Jin Ki imnida.”
-***-
Chagi, kenapa Jinki mirip denganku?” Tanya Minhyuk.
“ Benarkah?” Ujar Jiyeon yang sebenarnya tertawa dalam hati. Minhyuk mengangguk.
“ Mirip, sedikit.” Jawab Jiyeon.
Chagi, aku dan dia lebih tampan yang mana? Sepertinya aku lebih tampan bukan?”
“ Tentu saja kau yang paling tampan untukku. Eum, ngomong-ngomong, sejak kapan kau panggil aku Chagi?!!!”
“ Sejak tadi. Apa tidak boleh?”
“ Tentu saja boleh, Hyukkie. Aku suka panggilan baruku hehehe.” Minhyuk mengeratkan tangannya yang merangkul Jiyeon.
Chagi.”
“ Hm?”
Saranghae.
Nado Saranghae, Hyukkie.”
-End-
Kyaaa! Akhirnya selesai mihihi~ eotteohkae? Semoga chingudeul merasa terhibur dengan endingnya. Terima kasih yang sudah menyempatkan baca dan commentnya. Minhyuk’s Anae akan kembali beberapa waktu yang akan datang. Jangan bosen ya sama ff yang aku buat hehehehe. Daaah, See You~