Monday, March 25, 2013

Aku Merindu Lagi


Rindu menyeruak lagi di hatiku. Aku merindukan sosoknya. Sosok yang biasanya ku temukan di halaman sekolah menengah pertamaku dulu. Mengintipnya dari jendela kelas dan memandangnya yang sedang bermain sepakbola di lapangan depan kelasku. Mengaguminya dari koridor kelas dan mencuri pandangnya sesekali.
Aku rindu wangi tubuhnya yang dengan mudah ku temukan saat dia lewat di hadapanku. Aku rindu sosoknya yang tinggi ketika berdiri di sampingku. Aku rindu suara beratnya yang terkadang ia lantunkan dalam nyanyian. Aku rindu suara petikan gitar yang ia mainkan yang membentuk sebuah nada, sebuah lagu kesukaanku meski aku tahu ia menyanyikannya bukan untukku. Tapi aku rindu segala tentangnya. 
Aku rindu pesannya yang muncul di layar ponselku. Aku rindu senyumnya yang membuat hatiku meleleh saat itu juga. Aku rindu tatapannya yang tajam. Aku rindu celotehannya yang biasa ia keluarkan.
Aku rindu memandangnya diam-diam. Aku rindu mengambil gambarnya secara diam-diam; tentu saja dia tidak tahu itu. Aku rindu panggilannya yang memanggil nama depanku dengan lengkap, " Anindityas ". Dia suka memanggil dengan cara itu. Hanya dia. Hanya dia yang memanggil nama depanku secara lengkap. Aku rindu itu. Aku rindu segalanya. Aku rindu dia.
Perlahan, aku mulai bernyanyi mengikuti sebuah lagu yang dulu sering ia mainkan bersama gitarnya, sebuah lagu yang membuatku merindukannya,
If you’re not the one then why does my soul feel glad today?
If you’re not the one then why does my hand fit yours this way?
If you’re not mine then my does your heart return my call?
If you’re not mine would I have the strength to stand at all?
Cause I miss your body and soul so strong that it takes my breath away
And I breathe you into my heart and pray for the strength to stand today
Cause I love you, whether it’s wrong or right
And though I can’t be with you tonight
You know my heart is by your side~
(If You’re Not The One – Daniel Bedingfield)

Sunday, March 24, 2013

Pesan Waktu Itu

Hari itu tiba-tiba ponselku bergetar--yang membuat hatiku juga ikut bergetar; dan membuat sebuah ulasan senyuman tercetak jelas di bibirku. Sedikit kurang percaya bahwa pengirimnya adalah laki-laki yang ku tunggu sudah lama. Aku mulai membuka pesannya dan terlibat sedikit perbincangan dengannya.

Akhirnya, setelah 9 bulan lamanya dia mengirimku pesan lagi. Aku masih ingat pesan terakhirnya adalah ketika dia berpamitan akan pergi dari Cirebon dan berjanji tak akan melupakanku--aku juga berjanji tidak akan melupakannya; dan kini namanya tertera lagi di ponselku. Untuk pertama kalinya, setelah 9 bulan yang lalu.

Kami mengalami perbincangan yang cukup sederhana. Menanyakan kabar dan sekolah masing-masing sampai akhirnya membuatku cukup kehilangan kata untuk membalas pesannya itu. Sebenarnya banyak pertanyaan di benakku seperti, "Bagaimana sekolah disana?" "Apa kau merindukan Cirebon?" "Apa kau merindukanku?" "Apa kau punya kekasih yang baru sekarang?" dan "Apa kau mencintaiku?"  Hahaha lucu memang tapi benakku bertanya seperti itu. Tidak, aku tidak benar-benar bertanya padanya. Itu lebih dinamakan interogasi kecil-kecilan dibandingkan sekedar bertanya. Well, sejujurnya aku tidak cukup berani.

Kemudian perbincangan kami terhenti dengan keadaan aku tidak membalas pesannya lagi. Aku bingung harus bicara apa. Lalu aku menatap layar ponselku dalam, berharap itu bergetar lagi dan menunjukkan nama pengirimnya adalah dia.

Oh, manusia memang tidak pernah puas dan aku memang tidak pernah puas akan perbincangan yang pernah kami alami meski akhirnya aku selalu mengalah dan memutus perbincangan itu dengan satu alasan aku kehilangan kata-kata.

Setidaknya, terima kasih hari itu sudah mengirimku sebuah pesan. Sudah cukup untuk menguapkan seluruh rasa rinduku yang ku pendam akhir-akhir ini. Meski kini rasa rindu itu mulai menyeruak paksa untuk masuk ke dalam hatiku lagi. Tapi, terima kasih. Terima kasih untuk masih mengingatku sebagai temanmu. Setidaknya, aku masih punya status denganmu walau sebatas teman. Setidaknya, sedari awal memang hanya aku yang punya rasa berlebihan di pertemanan kita. Setidaknya, kapan kita bertemu lagi?

Aku akhiri surat kecilku hari ini. Sekali lagi, terima kasih untuk sudah menghubungiku. Meski pesan sederhana tapi punya efek luar biasa--kau seharusnya tahu bahwa aku selalu menganggapmu luar biasa dari kesederhanaanmu; Kapan-kapan hubungi aku lagi. Kapan-kapan kita bertemu lagi. Terima kasih. Aku mencintaimu.

Saturday, March 16, 2013

Dia Tidak Mencintaiku, Aku Tahu Itu

“ Orang yang kau sukai tak akan pernah mencintaimu juga sampai kapanpun. Walaupun kau menyatakan perasaanmu secara langsung padanya ataupun memohon padanya untuk mencintaimu kembali.” November, 2010
Aku masih ingat betul bagaimana pesan itu masuk ke ponselku saat aku dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah. Membuatku tercengang akan tulisan yang tertera di layar ponselku itu. Apakah dia tahu siapa yang aku cintai?  Pada akhirnya, dia mengatakan padaku bahwa ia tahu siapa orang yang kucintai. Dia.
Setelah itu, hubungan kami sudah tidak dikatakan baik-baik saja. Seminggu dia tak mau menyapaku, tak mau memandangku barang sedetik, tak mau duduk di sampingku lagi. Sampai akhirnya seminggu kemudian dia mulai mau menyapaku lagi. Mungkin dia lupa dengan kejadian seminggu lalu itu. Tapi, kejadian itu merubah kami. Kami bukan yang dulu lagi.
Kami setelah kejadian itu menjadikan kami memiliki sebuah jarak. Jarak yang ku tahu adalah jarak perasaan kami. Aku mencintainya dan dia tidak. Aku mengharapkannya dan dia tidak. Seperti yang sudah dia katakan, dia tak akan pernah mencintaiku. Jarak hati dan jarak perasaan kami yang jauh melebihi jarak antara Indonesia-Korea.
Kami berubah dan aku tahu itu. Bukan kami, tapi perasaanku yang berubah menjadi cinta dan dia yang berubah menjadi tidak lagi dekat denganku lagi. 
Satu hal, pertanyaanku yang menyelinap di hatiku, siapa yang memberitahunya bahwa aku mencintainya?

2 tahun lebih 4 bulan kemudian

Aku duduk di depan laptopku sembari menuliskan beberapa kata yang tertumpuk menjadi kalimat-kalimat mengenai aku dan dia. Dia yang kini tak ada di sisiku lagi. Ini jauh lebih menyedihkan dibandingkan aku ingat pesannya waktu itu. Dia memang tidak mencintaiku, aku tahu itu. Tapi ini lebih sulit, dia sudah tidak ada di sisiku lagi. 
Dulu, walau kami tak sedekat biasanya, setidaknya aku masih bisa melihatnya dari jauh. Dari jarak yang bisa ku manfaatkan. Dari jendela kelas, dari koridor kelas yang mempertemukan kami, dan halaman sekolah yang menjadi tempatku memperhatikannya diam-diam.
Kini, kami bahkan tidak dalam kota yang sama lagi.  Aku tak tahu apa yang dia lakukan lagi. Aku tak pernah bisa memperhatikannya lagi. Jarak. Sekali lagi jarak memisahkan kami.
Tuhan, mengapa jarak antar kami begitu jauh? Jarak tinggal maupun jarak rasa. Kami jauh. Aku tahu itu.
Sebuah memori berputar lagi di otakku layaknya roll film. Bagaimana pesan itu muncul di layar ponselku. Kenyataan terpahit yang pernah ku alami. Layaknya penolakan walaupun aku tak menawarkan apapun.
Dia tidak mencintaiku. Tidak pernah, katanya. Walaupun aku mengatakannya dia tak pernah mencintaiku, katanya. 
Tapi aku mencintainya. Selalu, kataku. Walaupun dia menolakku untuk mencintaiku, kataku. Aku tetap mencintainya, bahkan sampai kapanpun ku kira. Sampai aku sudah tidak bisa menulis lagi.

Dia tidak mencintaiku, aku tahu itu. Aku mencintainya, dan dia tahu itu.

Wednesday, March 13, 2013

Kopi

Aku dapat menyimpulkan bahwa cinta dan kopi memiliki persamaan yang cukup signifikan.

Aku mencintaimu sama seperti aku mencintai kopi. Dimana aku terhanyut dalam harum kopi yang menenangkan dan alunan harapan cintamu yang membuatku tenang. Dimana akhirnya aku selalu menyesap secangkir kopi setiap harinya, sama dengan aku selalu mencintaimu setiap harinya. Tiada hari tanpa kopi di hidupku dan tiada hari tanpa mencintaimu di hidupku.
Cappucinno. Secangkir cappucinno mengubah hidupku. Rasa manisnya menggila dan membuatku lupa bahwa tetap ada rasa pahit dalam secangkir cappucinno. Sama seperti mencintaimu. Aku lupa bahwa cinta tidak selamanya indah. Cinta selalu punya rintangan. Dan kini aku mulai menyesap rasa pahitnya.
Kopi memiliki caffeine yang membuat candu pada setiap penikmatnya. Dan cintamu sudah menjadi candu dalam kehidupanku. Sekali lagi, aku tak bisa hidup tanpa kopi. Dan aku tak bisa hidup tanpamu. Setidaknya, aku memang sudah menjadi pecandumu. 
Kemudian aku sadar, dalam kehangatan cappucinno aku lupa bahwa kopi punya banyak jenis lain. Aku mulai teringat dengan pahitnya espresso. Sayangnya aku tak suka. Aku lebih menyukai cappucinno. Tapi sepertinya espresso mulai memaksaku untuk mulai menikmatinya. Sama seperti ketika aku sedang terhanyut oleh kehangatan yang kau beri tiba-tiba kau hempaskan aku ke rasa pahit yang melebihi semua jenis espresso yang pernah ku cicipi. Setidaknya, semua kopi tidak semuanya manis dan semua cinta tidak semuanya bahagia.
Kopi membuatku kehilangan rasa kantukku. Membuat mataku terbuka sepanjang malam. Sama sepeti dimana aku selalu mengingatmu sepanjang malam yang membuat rasa kantukku lenyap entah kemana.
Kemudian orang di sekelilingku mulai menasehati bahwa kopi tidak baik untukku. Kopi perlahan merusak lambung serta jantungku. Membuat debaran jantungku seakan berdetak kencang di atas normal. Kopi perlahan merusak tubuhku. Sama seperti cintamu yang perlahan merusak kejiwaanku. Tapi aku tetap dalam suatu pendirian dimana aku tetap menyukai kopi walaupun itu merusak. dan aku tetap menyukaimu walaupun itu menusuk relung hatiku. 
Sesungguhnya kopi membahayakan jiwaku. Aku tahu itu. Kecanduan kopi berbahaya sama seperti aku kecanduan akan cintamu. Akan rasa cintaku kepadamu.
Sejujurnya, aku tetap mencintai kopi. Aku tetap bertahan dengan caffeine yang sudah mulai masuk dalam tubuhku, meracuniku. Sama seperti aku bertahan pada cintamu yang mulai menusuk jantungku, membuat jantungku sakit di atas batas normal. Tapi bodohnya, aku masih akan tetap bertahan.
Mungkin jika aku meninggal nanti. Aku baru sadar akan bahaya kopi mencintaimu. 

Sekiranya, kini aku mulai menyukai Espresso. Aku mulai meninggalkan Cappucinno. Karena sekarang cintaku kepadamu bukan layaknya cappucinno lagi. Kisahku dan kisahmu sama seperti secangkir espresso. Rasanya pahit. Aku tidak suka. Tapi perlahan aku mulai bertahan di atas kepahitannya.

Wednesday, March 6, 2013

Writing at Raining Place


I don't know how. I just wanna write something. Maybe about the people that i thought i was falling in love with him. No, I'm wrong. No, I'm not. Because I do never get jealous on him. Like today, he met her love and I'm not jealous.
Then, my mind go to a memory--old memory. Memory about " They told me the name was First Love " D. Yes, only him. My First Love. It's hard to say that i do never move on from him. I had try to move (with R-R-A) and it was failed. D, you success to makes me going insane.
Then, my mind going trough the memories of us. D and I. Oh no, I'm wrong! I did mistake!  I forgot that D and I would never being " us " . Is it right, D? Oh, very touching.
D, I can't move on right? What should I do? Sometimes I hate my self because it won't forget you.
D, I do always love you. Am I wrong or stupid to expecting someone who never expecting me?
D, I'm blinded by love. My heart looks like closed to another man. My heart only looks at you.
D, it's like I'm gonna die. One thing that I wanna ask to you,
How if I die first before we meet again?

Monday, March 4, 2013

Pemakan Sahabat Sendiri

Untuk dia yang seharusnya membaca tulisanku ini,

Aku menulis sebuah tulisan dengan segala pertimbangan. Pertimbangan dimana persahabatanku dipertaruhkan. Persahabatan? Benarkah?
Aku menemukannya sudah cukup lama. Sahabat yang baik dan ku percaya. Aku begitu memercayainya. Aku sangat memercayainya. Mungkin orang bilang tidak baik terlalu percaya dengan seseorang. Kini aku akui, mereka ada benarnya juga.
Aku masih ingat benar bagaimana aku menaruh rahasia kepadanya tentang seseorang yang aku cinta. Entah apa, tapi suatu petaka mungkin bisa dibilang takdir buruk diantara kami menghancurkan rahasia tersebut. Aku tak tahu apa yang dia mau.
Setidaknya, ku perkirakan dari segala tingkah lakunya, perlahan dia mulai memakanku. Menghabisiku dari belakang. Jangan kira aku tidak tahu. Aku sudah sadar semenjak petaka itu datang, kawan. Memakanku layaknya temannya menghabisinya. Kini dia yang justru menyerangku balik. Menyerangku yang tak tahu apa-apa.
Mungkin kalian tidak mengerti dengan segala kata-kata yang baru saja kutuliskan. Mungkin hanya kami yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Satu pesan untuk semua orang dariku, berdasarkan kejadian pribadi yang aku alami,
Seseorang didekatmu yang kau percaya bisa menjadi seseorang yang akan membunuhmu diam-diam.

Unexpected Me, Expect You

Yes, just like the title that i've been write.
Unexpected Me. Just like you, who never expected me. You, who always ignored me. You, who never consider me, who always there beside you--except now, I can't there beside you. You, who never realized that I've been loving you since the first time we met. You, who never realized that I love you, I do always love you, I do never open my heart for another else since I've been meet you, I do always call you on my prays. You never realized. You never expected me. Never. Never and I Know it.
Expect You. It's different with the previous paragraph. Yes, I do always Expect You. Expect you will love me, someday. Expect you will come back, someday. Expect you will come to make my dreams come true, someday. Expect you, always.

One thing that you have to know from me,
For my first love, new student on eight grade, for someone which never i forget, for someone that never love me, you have to know one thing that....

Loving you as is important as Breathing