Wednesday, February 27, 2013

Sebut Aku

Sebut aku penepuk sebelah tangan
Karena cintaku yang selalu bertepuk sebelah tangan. Kosong tanpa sambutan

Sebut aku pengharap handal
Karena yang bisa ku andalkan hanyalah sebuah harapan tanpa batasan

Sebut aku pecinta satu sisi
Karena sisi yang ku cintai tak pernah memberiku sebuah sisi yang sama

Sebut aku penunggu hebat
Karena yang bisa ku lakukan hanya menunggumu, menunggu kepastian yang tidak pasti lebih tepatnya

Sebut aku pemendam handal
Karena aku memang cukup handal memendam perasaan sakitku ini

Sebut aku perempuan tanpa perpindahan
Karena aku tak pernah bisa berpindah ke sisi lain selain sisimu

Sebut aku perempuan tanpa perubahan
Karena senyatanya tak ada perubahan signifikan dariku. 1 hal yang jelas terasa, tak pernah ada perubahan sedikitpun di hatiku mengenai perasaanku padamu.

Terakhir,

Sebut aku pecintamu
Karena aku memang selalu mencintaimu

Saturday, February 23, 2013

My Fanfiction : Mentariku Datang Lagi

Title : Mentariku Datang Lagi
Author : Minhyuk’s Anae
Length : Oneshoot
Genre : Romance
Rating : Teenager
Main Cast :
-          Park Seo Hee (OCs)
-          Kang Min Hyuk
-          Choi Jun Hong ( Zelo B.A.P)
-          Other Cast
Disclaimer : Author’s Real imagination
Note : I’m back! Re-post : minhyukanaefanfic.wordpress.com don’t forget to RCL! *wink*
Summary :
Ketika aku dan kamu tak pernah menjadi kita.
Ketika aku dan kamu yang tak pernah bisa selaras.
Ketika dia yang datang dan membuatku lupa.
Ketika kau datang lagi dan membuatku setengah frustasi.

Thursday, February 21, 2013

Aku yang Disini dan Kau yang Disana

Aku yang ada disini dan kau yang ada disana, terpisah.
Aku yang ada disini dan kau yang ada disana, sibuk dengan kehidupannya masing-masing.
Aku yang ada disini yang memikirkanmu dan kau yang ada disana yang tak pernah memikirkanku.
Aku yang ada disini dan kau yang ada disana, tak selaras dengan apa yang ada. Begitu juga dengan cinta kita yang sedari awal memang tak pernah selaras.

Aku yang sibuk dengan hidupku dan kau yang sibuk dengan hidupmu.
Aku yang selalu mempertahankan rasa ini dan kau yang tak pernah menganggap rasa ini.
Aku yang selalu mengharapmu dan kau yang tak pernah mengharapku.
Aku yang mendamba dan kau yang menolak.

Aku dan kau yang tak pernah selaras dari pertama pertemuan, lalu mengapa hatiku memaksa untuk rasa ini diselaraskan?
Aku dan kau yang tak pernah selaras mengapa masih ku pertahankan?
Aku dan kau yang tak pernah selaras, pantaskah masih ku simpan rasanya?

Apakah aku penyebab dari kesakitanku sendiri?
Karena aku tahu menunggumu adalah kesakitan tapi aku selalu menunggumu.
Karena aku tahu kau tak akan datang padaku tapi aku selalu berharap.
Karena aku memang pengharap handal yang selalu berharap dalam ambang ketidakpastian.

Apakah aku inti dari kesakitanku sendiri?
Setidaknya, aku memang tahu aku dan kamu tak akan pernah selaras.

Wednesday, February 20, 2013

Rindu

Untukmu yang selalu ku rindukan,

Apa kabarmu? Baik-kah disana? Rasanya waktu terlalu cepat bergulir hingga tak terasa sudah tujuh bulan lamanya kita tidak saling berjumpa. Kenangan terakhirku bersamamu adalah menatapmu dengan diam-diam. Aku menatapmu diam-diam. Selalu diam-diam. Hingga akhirnya waktuku habis untuk menatapmu. Lalu kau lenyap begitu saja hingga sekarang.

Aku tak pernah merasakan rindu sebelumnya. Rindu yang semacam ini. Rindu yang menusuk hatiku diam-diam sama seperti perasaanku yang selalu dalam diam. Rindu yang tak pernah ku ungkapkan dan Rindu yang tak pernah kau ketahui keberadaannya. Rindu yang selalu menggumam dalam hatiku. Rindu yang membuatku sulit untuk menutup mata. Rindu akan kehadiranmu.

Bagaimana dirimu sekarang?
Masihkah seperti yang dulu?
Masihkah ingat padaku?
Kapan kita bertemu lagi?
Pantaskah aku menunggumu?
Pantaskah aku mempertahankanmu?
Pantaskah aku merindukanmu?
Serta pantaskah aku ada disisimu?

Untukmu yang selalu ada di hatiku,
Bagaimana jika kita tak pernah bertemu lagi sedangkan hatiku hanya bisa bertahan untukmu?

Friday, February 15, 2013

Mimpi Semalam

" Akhirnya aku bertemu denganmu lagi, pada mimpiku semalam "

Untukmu cinta pertamaku yang tak akan membaca tulisan ini,

Aku kembali lagi membawa kisah tentangnya. Kisahan mengenai aku dan sesosok siswa baru di kelasku dua setengah tahun lalu. Kisahan mengenai aku dan dia yang tak pernah menjadi milikku.

Entah apa yang membawaku menulis tentangnya lagi. Mungkin karena mimpi semalam yang mempertemukan aku padanya lagi. Aku tegaskan itu hanya sebuah mimpi yang ketika aku terbangun pagi-pagi tersirat rasa duka dalam hati. Menyadari semua yang terjadi bukan nyata seperti yang aku minta.
Di mimpi itu... wajahmu masih sama. Senyummu yang membuat kedua matamu melengkung membentuk senyuman masih jelas tercetak sama. Rahang tegasmu masih jelas terlihat sama. Semua yang ada di mimpiku semalam masih sama.
Di mimpi itu aku dan kamu duduk berdampingan. Menceritakan segala sesuatu yang telah aku dan kamu lewati secara tidak bersamaan. Bersenda gurau layaknya dulu. Lalu kau mengatakan bahwa kau menyukaiku dan semuanya menjadi buram kembali.
Aku terbangun dan menyadari itu semua hanya mimpi. Memandang barang sebentar kosong langit kamarku yang gelap lalu kembali memejamkan kedua mataku. Sayangnya mimpi itu tidak berlanjut karena yang ada hanyalah bayangan hitam hingga aku terbangun kembali. Mungkin Tuhan tak mengizinkanku untuk terlalu lama bermimpi tentangmu. Karena pada akhirnya sama, semua yang ku harapkan tentangmu selalu berakhir di mimpiku.

Aku bersyukur pada Tuhan. Berkat-Nya aku kembali lagi bertemu denganmu. Meski barang sebentar dan hanya dalam mimpi. Setidaknya aku benar-benar merasakan kita bertemu kembali. Setidaknya aku memang selalu berharap kita benar-benar bertemu kembali.

Ah, maaf. Ada ralat sedikit dari tulisanku sebelumnya. Rasanya sedikit kurang pantas menyebut kita. Karena aku dan kamu tetaplah menjadi aku dan kamu bukan kita. Karena aku dan kamu tak pernah menyatu untuk menjadi kita. Karena hanya aku yang berharap untuk aku dan kamu menyatu untuk menjadi kita. Seperti mimpiku semalam yang hanya aku yang bisa merasakan, begitu juga cintaku padamu di artikan. Hanya aku yang bisa merasakan.

" Mimpiku semalam layaknya Diskriminan Kurang Dari Nol. Hanya mimpi, bukan nyata, imaginer, tidak real, hanya dalam imajinasiku belaka."

Saturday, February 9, 2013

Hepaticeae


Hatiku layaknya sebuah lumut hati. 

Ketika lumut hidup di tempat yang lembab. Maka hatiku juga hidup dalam suatu kelembaban cinta. 
Layaknya tempat yang lembab yang kekurangan cahaya matahari, maka hatiku kekurangan cahaya darimu. Ah, bukan kekurangan. Melainkan hatiku tak pernah mendapatkan cahaya darimu sedikitpun.

Sebut hatiku Si Lumut Hati.

Friday, February 8, 2013

Aku Kehilangan

Untukmu yang meninggalkanku begitu saja,

Hari-hariku kini rasanya tak sama lagi. Setelah kepergianmu yang begitu mendadak sore itu. Kepergianmu yang membuatku kelimpungan mencari topangan hidup. Kepergianmu yang membekaskan luka di hatiku.
Aku kehilangan separuh jiwaku. Dia yang menemaniku setiap harinya. Dia yang menemaniku setiap detiknya. Dia yang dulu selalu ada jika aku butuhkan. Dia yang selalu membuat diriku lebih bersemangat untuk melakukan sesuatu. Dia yang pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku belum rela. Aku belum rela kau tinggalkan. Jangan bilang aku harus cari penggantimu karena hatiku tetap terpaut padamu. Aku belum rela. Karena semuanya begitu mendadak. Bahkan tanpa ucapan perpisahan. Kau pergi meninggalkanku sendirian disini.
Lalu bagaimana hidupku kini? Sehari tanpamu saja rasanya sangat tidak berarti. Sehari tanpamu rasanya aku bukan diriku lagi. Aku kehilangan diriku. Aku kehilangan jiwaku. Aku kehilangan dirimu.
Lalu bagaimana hidupku kini? Tanpa ada yang menemaniku lagi.Tanpa ada pelipur lara lagi. Katakan, aku harus bagaimana? Mencari pengganti bukan sesuatu yang mudah.
Aku harap kau akan kembali suatu saat nanti. Ingatlah, kepergianmu yang tanpa ucapan perpisahan selalu menganggapmu akan kembali suatu saat nanti. Aku menunggumu. Kau tahu aku bukan orang yang mudah menyerah dalam hal menunggu. Aku menantimu untuk kembali.

Sekiranya aku memang tetap merasa kehilangan. Separuh jiwaku yang meninggalkanku begitu saja. Bahkan perkenalan kami tak lebih dari waktu lima bulan dan dia pergi begitu saja.

Sekiranya aku memang kehilangan. Aku kehilangan headsetku tersayang....

Tuesday, February 5, 2013

My Fanfiction : Loving You


Title : Loving You 
Author : Minhyuk’s Anae
Rating : T
Genre : Friendship, Romance
Length : Oneshoot
Main Cast :
-          Park Jiyeon
-          Kang Min Hyuk
-          Lee Jin Ki aka Onew
Support Cast :
-          Han Eun Ji (OCs)
-          Other cast
Disclaimer : From author’s imagination. Pure My Imagination.
Note : re-post minhyukanaefanfic.wordpress.com . Happy reading! Don’t forget RCL~
----------------------------------------------***********------------------------------------------------------
Author POV
“ Jiyeonnie!” Teriak seseorang begitu Jiyeon baru sampai pintu kelasnya yang baru. 2 IPA 1. Jiyeon tersenyum begitu menyadari itu Eun Ji.
“ Kita sekelas lagi.” Lanjutnya lalu memeluk gadis itu.
“ Benarkah?” Eun Ji memberinya selembar kertas berisi absensi kelas. Jiyeon tersenyum mengetahui ia akan sekelas lagi dengan sahabatnya ini.
Mata Jiyeon tertarik pada tulisan berwarna merah pada absensi kelas. Kang Min Hyuk. Sebuah nama yang cukup asing di telinganya. Mungkin siswa baru, pikirnya dalam hati.
-***-
“ Nama saya Kang Min Hyuk, pindahan dari Jepang. Kalian bisa memanggil saya Minhyuk. Senang berkenalan dengan anda sekalian.” Ujar seorang namja yang Jiyeon tahu memang murid baru di kelas.
Setelah perkenalan itu, namja tadi duduk di bangku yang tidak terlalu jauh dari Jiyeon. Tiba-tiba Jiyeon menyadari sesuatu. Ada yang tidak beres dengan namja itu, aish bukan dengan namja itu tapi dengan pemikiran Jiyeon tentang namja itu. Jiyeon terus memperhatikannya.
“ Kamu kenapa? Gwaenchanhayo?” Tanya Eun Ji.
Gwaenchanha.” Jawab Jiyeon dan masih memperhatikan gerak-geriknya.
-***-
Jiyeon merebahkan tubuhnya sejenak dan menutup matanya. Ingatannya melayang ke arah seorang laki-laki, sahabat masa kecilnya, Lee Jin Ki. Ia pergi tepat 3 tahun lalu, pergi ke Amerika bersama keluarganya. Jinki, apa kabarmu sekarang?
Hari ini aku bertemu seseorang, Kang Minhyuk dan ia sangat mirip denganmu, Jinki. Jinki apakah itu kamu? Sepertinya tidak karena Minhyuk tak mengenaliku. Jinki kenapa setiap aku menatapnya aku selalu berpikiran itu dirimu? Jinki kenapa rasanya sama? Jinki, aku merindukanmu.
Kurasa Minhyuk dan Jinki memiliki beberapa persamaan. Entahlah itu apa tapi rasanya ada sesuatu yang sama dari mereka. Meski aku sadar betul Minhyuk bukan Jinki.
Minhyuk, Jinki, Minhyuk, Jinki. Argh, kenapa ini membuatku gila?
-***-
“ Permisi, apa namamu Park Ji Yeon?” Jiyeon menoleh,
“ Eh, iya, ada apa?”
“ Kim Seonsaengnim menyuruhku menemuimu. Tugas dari Kim Seonsaengnim.” Ujarnya memberikan sebuah flashdisk kepada Jiyeon.
“ Gomawo.” Ucapnya.
“ Eum, by the way, Kim Seonsaengnim berkata padaku katanya tugas yang ia berikan akan diselesaikan bersama-sama.” Ujarnya kelihatan err sedikit gugup.
“ Bersama-sama?”
“ Iya, tugas kelompok kita. Aku dan kamu.” Jawabnya. Jiyeon mengangguk. Merasakan ada sesuatu yang aneh dibalik penegasan kata “ Aku dan kamu.”
“ Bagaimana jika besok kita kerjakan bersama-sama?” Ajaknya.
“ Boleh.” Jawab Jiyeon membalas senyumannya.
Ia pergi dan secara spontanitas, Jiyeon sendiri tak tahu apa penyebabnya, ia memanggil namja tadi.
“ Minhyuk-ssi.” Panggilnya. Minhyuk menoleh,
“ Ya?”
Aniyo.” Jawabnya sambil menggelengkan kepala. Minhyuk hanya tersenyum dan berlalu pergi.
-***-
Menatap matanya membuatku tenang. Mendengar suaranya membuatku nyaman. Apa yang terjadi padaku? Kenapa rasanya sama seperti dekat dengan Jinki? Oh, Jiyeon, kau harus sadar bahwa Minhyuk bukanlah Jinki. Mereka berbeda.
“ Kenapa?” Tanya Minhyuk yang langsung membuyarkan semua lamunan Jiyeon.
“ Apanya yang kenapa?” Tanya Jiyeon balik yang terlihat kelimpungan.
“ Kau. Melamun. Apa sedang sakit?”
Aniya.”
“ Kau cukup mahir dalam kimia. Rasanya aku beruntung satu kelompok denganmu.” Puji Minhyuk dan yang pasti kedua pipi Jiyeon sekarang sudah memerah.
Gomawo, Minhyuk-ssi.”
“ Minhyuk saja. Terdengar tidak enak jika namaku dipanggil dengan embel-embel ‘ssi’ rasanya terlalu formal.” Protesnya tegas.
“ Baiklah, Minhyuk.”
Minhyuk tersenyum dan entah mengapa tangannya refleks mengacak rambut Jiyeon pelan. Membuat tubuh Jiyeon kaku dan bingung harus berbuat apa.
-***-
“ Jiyeonnie!” Jiyeon menoleh ke suara yang sedari tadi memanggil namanya.
Mwo? Jinki-ya! Omo! Jinki!” Serunya kaget mengetahui siapa yang memanggil namanya tadi. Lelaki itu mendekat dan memeluknya.
Jinki kini lebih tinggi dari 3 tahun lalu, wajahnya pun berubah menjadi lebih tampan.
“ Jinki, aku merindukanmu. Kapan kau kembali ke Korea?” Jinki hanya tersenyum dan tak membalas ucapan Jiyeon.
“ Jinki, di sekolahku ada siswa baru. Namanya Kang Minhyuk. Dia mirip sekali denganmu. Jinki, kenapa setiap aku di dekatnya aku merasa nyaman? Rasanya sama seperti ada di dekatmu. Oh, aniyo, bahkan terasa lebih nyaman. Jinki, mengapa setiap ada di dekatnya otakku berpikir kalau Minhyuk adalah kau? Jinki, mengapa jantungku berdebar saat dekat dengannya? Bahkan kemarin aku tak fokus dengan tugas kimiaku karena terus-terusan ada di dekatnya. Jinki, apa aku mencintainya? Tapi bukankah hatiku hanya untukmu?” Jiyeon memberhentikan ucapannya. Merasa telah kelewatan dengan ucapannya barusan. Karena memang selama ini Jinki tak pernah tahu ia memendam rasa padanya. Jiyeon sendiri tak mengerti kenapa dia bisa sefrontal ini.
“ Jinki, mengapa kau diam saja?” Tanya Jiyeon lagi sedikit mengguncang pundak laki-laki di hadapannya itu. Alih-alih menjawab, Jinki tetap pada kondisinya, tersenyum melihat Jiyeon. Tak menjawab satu pertanyaannya pun. Jinki menutup matanya dan perlahan apa yang ada di hadapan Jiyeon buyar.
“ Jinki!” Teriak Jiyeon terbangun dalam kondisinya yang setengah sadar. Mendapati dirinya berada dalam kamarnya. Tubuhnya berkeringat dan kepalanya pening.
“ Aish, hanya mimpi? Aku bahkan berharap aku bisa secepatnya bertemu Jinki.” Jiyeon memegang kepalanya yang terasa berat dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya yang sudah gelap—karena lampunya sengaja dimatikan—dengan tatapan kosong. Mencerna apa yang baru saja terjadi di mimpinya.
Ia masih ingat betul kata-katanya yang mengatakan Jinki, apa aku mencintainya?
Mencintai Minhyuk? Yang benar saja. Jiyeon bahkan baru mengenalnya kurang dari 2 minggu. Intensitas mereka berbicara dan berkomunikasi pun masih terbilang sedikit. Satu lagi, sangat tidak lucu jika alasannya mencintai Minhyuk hanya karena Minhyuk mirip dengan Jinki. Tapi suara hatinya terus berkata, akan ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. Ada sebuah rasa yang ia rasa lebih dari semua perasaannya terhadap Jinki.
Ya, Minhyuk dan Jinki berbeda. Begitupula perasaanku terhadap Minhyuk berbeda dengan perasaanku terhadap Jinki. Tuhan, bisakah kau bantu aku menemukan sebuah rasa yang rasanya menjadi teka-teki dalam hatiku?
-***-
“ Eun Ji-ya. Aku sedang bingung.” Ucap Jiyeon sedikit merengek manja ke arah Eun Ji.
Waeyo? Apa yang membuatmu bingung?”
“ Kau ingat Jinki, eo? Teman sd sekaligus smp kita.”
“ Eum…ya, aku ingat. Teman dekatmu kan? Cinta pertamamu juga?” Jiyeon melotot.
“ Hahaha, akui saja. Tentu saja aku ingat dengan Jinki. Orang yang selalu kau ceritakan. Wae?”
“ Apa kau pernah berpikiran di kelas kita ada seseorang yang mirip dengan dia?”
“ Minhyuk?” Tebak Eun Ji dan ya, tepat sasaran. Jiyeon mengangguk.
“ Kenapa? Apa kau berpikiran Jinki berubah seperti apa yang biasanya ada di sinetron atau drama tertentu dan sekarang wujud Jinki menjadi Minhyuk?”
“ Yak, itu tidak lucu, Han Eun Ji. Bukan itu maksudku.”
“ Lalu? Apa kau berpikiran Jinki hilang ingatan dan sekarang marganya berubah jadi Kang dan otomatis namanya juga berubah menjadi Minhyuk?” Jiyeon menghela nafasnya panjang.
“ Sepertinya aku salah bercerita dengan orang sepertimu, Eun Ji-ya. Setidaknya aku masih waras dan tidak berpikiran adegan tidak masuk akal pada sinetron-sinetron yang sudah kau tonton itu akan menjadi kenyataan.” Omel Jiyeon bergegas pergi tapi Eun Ji menahannya.
“ Hahahaha aku hanya bercanda, Yeonnie. Apa kau pikir aku segila itu? Hei, hidup itu jangan terlalu dibawa serius! Hahahaha.”
“ Jadi, apa yang akan kau ceritakan? Ada apa antara Minhyuk dengan Jinki?”
“ Aku…merasakan aku jatuh hati pada Minhyuk. Entahlah aku sendiri tak tahu kenapa. Setelah aku sadar betul Minhyuk mirip dengan Jinki. Hatiku selalu berdebar setiap melihat Minhyuk.”
“ Apa kau mencintai Minhyuk hanya karena Jinki?”
“ Pertanyaan yang tepat, Eun Ji-ya. Karena hatiku bertanya-tanya soal itu.”
“ Apakah rasanya sama?”
“ Berbeda. Sepertinya pada Minhyuk ada rasa yang jauh lebih dalam.”
“ Aku hanya mengingatkan, jangan sampai kau jatuh ke Minhyuk hanya karena Jinki. Itu hanya akan menambah rasa sakitmu.” Ujar Eun Ji menggenggam tangan Jiyeon. Menyiratkan simpatinya terhadap sahabatnya ini.
-***-
“ Han Eun Ji bilang untuk sementara waktu kau duduk denganku.” Jawab Minhyuk.
Jinjjayo?”
“ Astaga, Jiyeon. Kau tak percaya padaku?”
“ Percaya kok percaya. Duduk sini.” Ujarku menepuk bangku kosong di sebelahku.
Eun Ji, kau akan kubunuh karena berani-beraninya menyuruh Minhyuk duduk di sebelahku.
“ Yak, aku hanya ingin mengetest perasaanmu terhadap Minhyuk. Ini adalah salah satu cara agar kau tahu perasaanmu yang sebenarnya.” Ujar Eun Ji santai.
“Eun Ji, tapi aku gugup. Bahkan hanya mengangguk pun aku gugup.” Keluh Jiyeon.
“ Kau menyukainya, ku rasa.” Ujar Eun Ji. Jiyeon hanya melengos menatap ke arah lain, otaknya penuh dengan berbagai pikiran.
Menyukai Minhyuk, mencintai Minhyuk, menganggap Minhyuk sebagai Jinki, ketulusan rasanya terhadap Minhyuk, kenyamanannya untuk dekat dengan Minhyuk. Otak dan hatinya penuh dengan pikiran tersebut.
Kenapa ia begitu berlebihan menanggapinya? Bukan dirinya, tapi hatinya dan otaknya. Bekecamuk penuh hanya untuk menemukan sebuah perasaan aneh yang mulai mengganggu pikirannya.
Dulu, Jiyeon tak pernah peduli terhadap lingkungan baru yang tercipta di sekitarnya. Tapi kenapa dengan Minhyuk ia begitu peduli? Bahkan sekarang ia mulai mencari tahu diri Minhyuk yang sebenarnya. Kesukaannya, hobinya, kelebihannya. Kenapa Minhyuk membuatnya seperti ini?
Ditambah lagi sekarang ia sebangku dengan Minhyuk. Sifatnya yang kurang bisa menutupi apa yang sedang terjadi membuatnya takut. Takut Minhyuk tahu mengenai perasaan yang mulai tumbuh padanya. Takut setelah itu Minhyuk menjauh dan hal itu adalah hal yang dibenci Jiyeon. Sama seperti perpisahannya bersama Jinki beberapa tahun lalu.
“ Sesering itukah kau melamun?” Ujar Minhyuk sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah Jiyeon.
“ Hahaha ani. Akhir-akhir ini, sedikit lebih sering.” Jawab Jiyeon.
Wae? Ada masalah?” Jiyeon hanya menggeleng. Minhyuk tertawa kecil,
“ Aku terlalu kepo ya?” Tanya Minhyuk.
“ Gak juga, Hyukkie hahaha.” Jawab Jiyeon.
“ Hyukkie?”
Mianhae. Ku rasa panggilan itu cocok untukmu.”
Gwaenchanda. Hyukkie, panggilan yang bagus.” Ujar Minhyuk sedikit mengacak rambut Jiyeon.
“ Berminat ikut ke kantin?” Ajak Minhyuk. Jiyeon mengangguk.
“ Boleh.” Jawabnya mantap.
“ Kau mau pesan apa?” Tanya Minhyuk pada Jiyeon.
“ Jus strawberry.” Jawab Jiyeon.
Ahjumma, jus jeruk satu dan jus strawberry satu.” Pesan Minhyuk dan kami duduk di salah satu meja yang disediakan di kantin.
“ Kau…asli orang Jepang? Atau orang Korea yang pindah ke Jepang? Atau blasteran Korea-Jepang?” Tanya Jiyeon.
“ Kenapa memang?”
“ Cuma nanya.” Jawab Jiyeon santai.
“ Aku asli orang Korea, Ilsan tepatnya. Tapi ketika usiaku 6 tahun, Appa mendapat tugas untuk mengurus perusahaannya di Jepang. Aku jadi ikut pindah dan sekarang Appa mengelola perusahaannya di Korea.” Jiyeon hanya mengangguk-angguk sambil menyesap jus strawberrynya.
“ Aku punya teman, dia sangat mirip denganmu.” Entah apa penyebabnya, Jiyeon mulai mengungkit masalah itu lagi. Rasanya pernyataan tersebut membuat hatinya cukup lega.
“ Oh ya? Apa dia sekolah disini juga?” Tanya Minhyuk.
Ani. Dia di Amerika sekarang.” Jawab Jiyeon. Tersirat sedikit rasa bersalah mengungkit Jinki lagi. Minhyuk hanya mengangguk kecil.
Jiyeon, jangan mengungkit Jinki di depan Minhyuk. Kau harus ingat Minhyuk bukan Jinki. They are different.
-***-
“ Kau belum pulang?” Tanya Minhyuk saat ia kembali ke kelas untuk mengambil tasnya.
“ Belum. Aku sedang menyelesaikan project.” Jawab Jiyeon yang tetap berkutat dengan laptopnya.
“ Project?”
“ Project menulis.”
“ Menulis apa?” Tanya Minhyuk yang mulai tertarik. Minhyuk kembali menaruh tasnya dan mendekat ke arah Jiyeon.
“ Cerita pendek. Teenlit.” Jawab Jiyeon.
“ Wow, aku suka dengan yeoja yang suka menulis.” Ujar Minhyuk. Jiyeon spontanitas menatap Minhyuk ketika ia mengucapkan kata ‘suka’.
“ Apa aku boleh membacanya?” Tanya Minhyuk mendekat ke layar laptop Jiyeon.
Andwae! Ini belum selesai! Lagipula ini cerita perempuan.” Jawab Jiyeon menutup layar laptopnya. Bisa mati dia kalau Minhyuk tahu ia sedang menulis pengalamannya bersama Minhyuk. Meski mereka baru mengenal selama 1 bulan.
“ Cerita perempuan? Mana ada cerita dibatasi berdasarkan jenis kelamin hahaha.” Tawa Minhyuk mengambil tasnya dan beranjak keluar.
“ Hyukkie!”
Ne?” Minhyuk menghentikan langkahnya.
“ Kau…mau kemana? Mau pulang?” Tanya Jiyeon.
“ Aku ingin ke ruang musik. Latihan drum. Mau ikut?”
Anniyo. Aku masih mau menyelesaikan project ini.” Jawab Jiyeon menunjuk-nunjuk laptopnya.
“ Aku duluan, ne? Annyeong!” Jiyeon melaimbaikan tangannya sambil tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya. Mencoba fokus kepada tulisannya lagi.
Jiyeon melangkahkan kakinya di halaman sekolah yang sudah mulai sepi. Ia teringat Minhyuk, apa Minhyuk sudah pulang?
Jiyeon terus melangkahkannya sampai halte bus.
“ Berminat pulang bersama, Ny. Park?” Seseorang menghampiri Jiyeon. Menepuk jok belakang sepedanya.
“ Memangnya kau pulang kemana, Mr. Kang?” Sambut Jiyeon.
“ Apartement dekat Myeongdeong. Ayolah, kita pulang bersama juga.” Jiyeon bangun dan hatinya melawan otaknya yang menolak.
“ Baiklah. Perumahan dekat Han Kang.” Jiyeon duduk di belakang Minhyuk dan menepuk pundak Minhyuk.
Hati Jiyeon berdebar. Terasa seperti kisah pada fanfiction yang ia tulis. Ini untuk pertama kalinya ia berboncengan dengan seorang laki-laki. Minhyuk mengayuh sepedanya lebih kuat, membuat Jiyeon spontan mencengkeram seragam Minhyuk dan segera melepasnya lagi.
Spontan dan argh Minhyuk, kau harusnya bertanggung jawab atas perbuatanmu yang membuat jantungku berdebar 1000000x lebih kencang.
“ Gomawo, Hyukkie.” Ucap Jiyeon begitu mereka sampai di depan gerbang rumah Jiyeon.
“ Cheonmaneyo. Senang bisa mengantarkanmu.” Balas Minhyuk.
“ Mau ke mampir dulu?”
“ Hmm, lain kali aku akan mampir, Yeonnie. Hari sudah cukup sore. I have to leave first.”
“ Baiklah, Josimhaneun.” Ucap Jiyeon melambai-lambaikan tangannya.
Ne. Daaah.” Ucap Minhyuk kembali mengayuh sepedanya meninggalkan Jiyeon. Jiyeon menatap Minhyuk yang lama-lama menjauh.
Minhyuk, neoneun nae simjangeun dugeun dugeun tteolyeowa.
-***-
Jiyeon tersenyum menatap layar handphonenya. Alih-alih membalas, yang ia lakukan justru tersenyum dan memandanginya.
From : Kang Min Hyuk
Hi, Ny. Park. Kau sedang apa? Tiba-tiba aku memikirkanmu dan project yang kau buat tadi siang. Aku…penasaran dengan ceritanya.
Jiyeon membaca ulang bagian “ Tiba-tiba aku memikirkanmu” dan terkekeh pelan. Sudut wajahnya memanas, mungkin wajahnya sudah memerah sekarang.
To : Kang Min Hyuk
Sebegitu penasarannya kah kau dengan projectku, Tuan Kang? Aku kurang yakin drummer sepertimu menyukainya
Meski jika dibaca selintas, plot yang Jiyeon buat tak terlalu mencirikan cerita itu mirip dengan kejadiannya dengan Minhyuk. Tetap saja ia malu.
From : Kang Min Hyuk
Memangnya kenapa? Kau belum tahu aku drummer melankolis? Hahaha menyedihkan memang. Tapi aku suka teenlit. Setidaknya aku juga punya hobi yang sama sepertimu, meluangkan waktu untuk menulis cerita karangan remaja.
Jiyeon tercengang, Minhyuk suka menulis juga?
To : Kang Min Hyuk
Benarkah? Aku jadi penasaran seperti apa cerita yang kau buat, Tuan Kang.
From : Kang Min Hyuk
Kau penasaran? Aku juga. Tidak mau tahu, besok temui aku dan bawa plot itu. Aku penasaran dengan isinya!
To : Kang Min Hyuk
Hyukkie, besok itu hari minggu. Kau lupa?
From : Kang Min Hyuk
Besok memang hari minggu. Kenapa memangnya? Apa ada peraturan yang melarang kita bertemu di hari minggu? Besok aku akan menjemputmu, bersiap-siap pukul 9 pagi.
To : Kang Min Hyuk
Menjemputku?
From : Kang Min Hyuk
Ne! ayolah, kita refreshing sebentar. Setidaknya kau tidak harus selalu berkutat dengan kimia yang menjadi kesukaanmu itu. Berada di dekatmu membuat hatiku tenang.
Jiyeon tercengang menatap pesan terakhir yang Minhyuk berikan. Hatinya berguncang. Antara senang dan sedih. Senang dengan pernyataan-pernyataan Minhyuk yang seolah memberi lampu hijau untuknya. Sedih karena ia takut perasaannya terhadap Minhyuk belum sepenuhnya ia mantapkan.
Handphone-nya kembali berdering. Sebuah panggilan masuk dari Kang Minhyuk.
“ Yeoboseyo.”
“ Yeonnie, kenapa kau tak membalas pesanku?” Protes Minhyuk dari seberang. Jiyeon terkekeh pelan mendengar celotehan Minhyuk yang terbilang cukup kekanak-kanakan, tapi Jiyeon suka ^^
“ Ah, jeongmal mianhae, Hyukkie. Aku masih sedang mengetik untuk membalasnya.”
“ Oh, arasseo. Jadi bagaimana? Besok aku jemput, eo?” Ajak Minhyuk.
Ne.” Jawab Jiyeon.
“ Jam 9 kau harus sudah siap! Awas saja telat.” Ancam Minhyuk.
“ Iya iya Minhyuk cerewet.” Ledek Jiyeon.
Mwoya? Kau meledekku? Aish.”
“ Kau memang cerewet, Hyukkie.”
“….”
“ Hyukkie, kau masih disitu?” Panggil Jiyeon karena beberapa detik mereka saling diam.
“ Iya, aku masih disini. Ingat jam 9 dan bawa plot-mu.”
by the way, memangnya besok kita akan pergi kemana?”
“ Rahasiaku, Ny. Park.” Ujar Minhyuk.
“ Baiklah.”
“ Apa kau sudah makan?”
“ Belum dan sepertinya tidak. Ini sudah pukul 7 malam.”
“ Kau harus makan, Ny. Park.”
“ Kalau aku makan malam-malam. Nanti aku akan gemuk.”
“ Memangnya kenapa kalau kau gemuk? Aku bahkan tidak peduli.”
“ Maksudmu?”
Aniyo, abaikan. Kau harus makan, nanti kalau penyakit maagmu kambuh bagaimana.”
“ Aku tak punya penyakit maag, Hyukkie.”
“ Ya…siapa tahu kan kalau keseringan telat makan.” Jawab Minhyuk yang lama-lama terlihat semakin tidak jelas.
“ Hm, yasudah. Kututup duluan ne teleponnya?”
“ Iya.”
“ Jangan lupa makan, Yeonnie. Besok pukul 9 dan bawa plot.”
“ Iya, Tuan Kang aku ingat.”
Bye.”
Bye.” Jiyeon menutup sambungan teleponnya.
Ia menatap teleponnya aneh. Aneh dengan perlakuan Minhyuk malam ini. Mereka terlihat seperti sepasang….
Ah, tidak, aku tidak boleh terlalu kepedean. Siapa tahu Minhyuk hanya peduli padaku dan tidak lebih dari itu?
-***-
Jiyeon terlihat gusar. Padahal jamnya masih menunjukkan pukul 08:45. Ditangannya sudah menggenggam tas dengan isi handphone, dompet, dan plot cerita pendeknya.
“ Jiyeon, ada temanmu diluar. Namanya Kang, aduh Kang siapa ya? Eomma lupa.” Panggil Eomma dari luar kamar.
“ Kang Min Hyuk, Eomma!”
“ Ah, iya! Kang Min Hyuk.”
“ Eomma, aku pamit ya. Mau pergi dulu dengan Minhyuk.”
“ Sampai jam berapa?”
Mollaseo.”
“ Baiklah, Josimhaneun.”
Ne, Eomma.” Jiyeon mengecup pipi Eomma-nya lalu bergegas keluar.
“ Hyukkie, Kajja!
-***-
Minhyuk’s POV
Mataku membalas tatapan seorang yeoja yang memang sedari tadi menatapku. Apakah aku aneh? Rasanya tidak juga.
Namanya Park Ji Yeon. Seorang yeoja yang baik hati, pintar dalam pelajaran kimia, membuatku nyaman di dekatnya.
Aku sendiri tidak benar-benar sadar kapan aku mulai menyukainya. Mungkin semenjak pertama kami bertatapan, atau mungkin semenjak tugas kimia, atau mungkin semenjak kami duduk bersama. Aku bahkan berterima kasih kepada Han Eun Ji yang dengan kebaikan hatinya mau merelakan aku duduk dengan sahabatnya itu.
Menatapnya setiap aku ada disampingnya merupakan salah satu anugerah terindah bagiku. Melihat senyum dan tawanya yang lepas membuatku merasa nyaman. Bisa berada disampingnya membuatku bahagia. Tapi, aku ingin yang lebih dari ini.
Meski aku sendiri tak begitu yakin Jiyeon punya perasaan yang sama sepertiku. Bahkan, jika ia tak punya perasaan padaku, aku bersedia memberinya waktu bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Memberinya waktu sampai ia membuka hatinya untukku.
Terdengar menggelikan memang. Aku baru mengenalnya kurang lebih 1 bulan tapi hatiku seakan benar-benar memantapkan rasaku untuknya.
Jiyeon, nan neol saranghae~
-***-
Eotteohkae?” Tanya Jiyeon menyadari perubahan wajah Minhyuk setelah membaca karangannya.
“ Bagus. Aku cukup terbawa suasananya.”
“ Hahaha yang benar saja, Hyukkie. Membaca sebuah plot di tengah keramaian seperti ini bisa membuatmu terbawa?”
“ Mungkin karena latarnya kebanyakan di Han Kang dan sekarang kita sedang di Han Kang. Aku jadi terbawa.”
By the way, kenapa terlalu banyak lokasi di Han Kang?”
“ Aku terinspirasi dari Han Kang. Memandang arusnya yang tenang dan memang cukup terbawa dari beberapa drama yang ku tonton membuat Han Kang memiliki nilai khusus untukku. Aku bahkan beruntung eomma dan appa memilih rumah yang lokasinya tak terlalu jauh dengan Han Kang.” 
“ Apa cerita ini terinspirasi dari kisah hidupmu?”
“ Tidak juga. Namun terkadang aku berharap kisahku berakhir bahagia seperti plot yang aku buat hahahaha.”
“ Apa kau sedang jatuh cinta?”
“ Kenapa memangnya, Hyukkie?”
“ Entahlah, feeling-ku mengatakan plot yang kau buat seperti menggambarkan kisah pribadimu.”
“ Mungkin.  Mungkin aku sedang jatuh cinta.” Jawab Jiyeon pelan.
“ Hyukkie, bagian mana yang menjadi favoritemu?” Tanya Jiyeon berusaha mengalihkan pembicaraan.
“ Ketika laki-laki bernama Kwon Chul Jae menembak Lee Hyo Min ditepi Han Kang.” Jawab Minhyuk sambil tersenyum.
“ Hahaha aku juga suka part itu.”
“ Apa kau berharap akan ada seseorang yang menembakmu di Han Kang?”
“ Sedikit, jika ada hahaha. Tapi aku tidak yakin ada.” Jawab Jiyeon sedikit berdebar. Jiyeon tertawa menutupi rasa canggungnya.
“ Jiyeon, aku mencintaimu.” Ucap Minhyuk.
Jiyeon terdiam. Tubuhnya melemas. Entah senang ataupun sedih. Matanya membalas tatapan Minhyuk.
Will you be my girlfriend?” Tanya Minhyuk. Seperti plot yang sudah ia buat, seorang laki-laki, yang sebenarnya itu Minhyuk dengan beberapa perubahan, menyatakan perasaan terhadap seorang gadis, yang sebenarnya itu dirinya dengan beberapa perubahan.
Entah kenapa hatinya gusar. Seperti yang sudah ia katakan sebelumnya. Hatinya ragu. Ia menyukai Minhyuk tapi ia takut ia belum tulus. Meski lama-lama ia sadar perasaannya terhadap Jinki hanya sebatas persahabatan. Meski lama-lama ia sadar perasaannya terhadap Minhyuk terasa jauh lebih dalam. Tapi ia butuh waktu.
“ Hyukkie, apa aku boleh meminta waktu untuk menjawabnya?” Minhyuk tersenyum mengangguk.
“ Berapa lamapun, aku akan selalu menunggu jawabanmu.”  Jawab Minhyuk.
-***-
Gomawo, Hyukkie. Mau ke dalam dulu?” Tanya Jiyeon begitu sampai depan gerbang rumahnya.
“ Lain kali saja, Jiyeon.”
“ Hyukkie, aku akan memikirkan jawabannya baik-baik.”
Ne. Jangan terlalu dipikirkan, kau bisa menjawabnya kapan saja.”
Mianhae, Hyukkie.”
“ Hush, sudah. Tidak ada yang salah.” Ujar Minhyuk mengusap kepala Jiyeon sebentar.
“ Aku duluan, ne? Annyeong.”
Ne.”
Jiyeon melangkahkan kakinya dan membuka gerbangnya, matanya terbelalak menemukan siapa yang ada di dalam ruang tamu rumahnya.
“ Jinki?”
“ Hai, Yeonnie. Kau sudah pulang? Akhirnya. Aku sudah menunggumu selama 2 jam.” Ujar Jinki seraya memeluk Jiyeon yang masih diam mematung.
“ Apa kabarmu?” Tanya Jinki yang kini mulai berjalan ke arah pekarangan belakang rumah Jiyeon, bersama Jiyeon juga tentunya.
“ Baik. Kau?”
“ Baik juga. Hei, apa kau tidak merindukanku?” Tanya Jinki yang menyadari sikap Jiyeon yang biasa saja. Tak seceria 3 tahun lalu.
“ Merindukanmu? Tentu saja, ayam!” Jawab Jiyeon lalu tertawa. Mulai membiasakan diri lagi dengan kehadiran Jinki.
Gamsahamnida, Park Ahjumma.” Ucap Jinki begitu Eomma memberi mereka minuman dan beberapa makanan ringan.
Eomma, kenapa kau tidak bilang hari ini Jinki datang?”
“ Jinki meminta Eomma merahasiakannya, Jiyeon.” Jawab Eomma lalu berlalu pergi.
“ Benarkah?” Tanya Jiyeon masih memikirkan perkataan Eomma-nya tadi. Jinki mengangguk sambil menyesap teh hangatnya.
“ Aku begitu merindukan Korea dan kau tentunya hahaha.” Ujar Jinki sambil mencubit Jiyeon. Jiyeon hanya tersenyum.
Entah apa yang terjadi pada hatinya, yang pasti hatinya tak seberbunga-bunga dulu. Ia merasa biasa saja ada di dekat Jinki. Bahkan ketika Jinki mengatakan ia merindukannya pun terasa sangat flat. Pikirannya melayang ke kejadian tadi malam, ia rasa hatinya semalam lebih berbunga-bunga dibandingkan sekarang. Apakah artinya….?
“ Kau akan tinggal di Korea lagi, Jinki-ya?” Tanya Jiyeon membuka percakapan yang sempat terhenti. Mengubah atmosfer yang mulai canggung menjadi tidak.
Ani. Sekolahku libur 2 minggu.” Jawab Jinki.
“ Berarti kau hanya akan ada disini selama 2 minggu, eo?” Tanya Jiyeon sedikit kecewa.
Ani. Hanya 1 minggu. 1 minggu lagi aku akan membereskan keperluan sekolahku di Amerika.” Jawab Jinki.
“ Kenapa? Kau masih merindukanku ya? Atau kau sangat takut kehilanganku?”
“ Aish, apa yang kau bicarakan Jinki-ya? Hahahaha.”
“ Aku ingin mengajakmu ke Lotte World. Tapi kapan ya? Seminggu ini kau full sekolah kan?”
“ 3 hari lagi aku libur. Tanggal merah.”
“ Baiklah. Kita kesana nanti.”
-***-
Jiyeon melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Hatinya berdebar mengetahui hari ini dia harus bertemu Minhyuk, duduk disamping Minhyuk, dan dia belum sempat memikirkan jawaban pertanyaan kemarin.
Hati Jiyeon bergetar melihat Minhyuk sedang tertawa bersama teman-temannya yang lain. Jika ia menerimanya, ia takut salah ambil keputusan dan nanti akan menyakiti Minhyuk. Jika ia menolaknya, Minhyuk akan sakit dan dia sendiri akan sakit menerima keputusan tersebut. Jiyeon….dilema.
“ Hi, Jiyeonnie.” Sapa Minhyuk begitu Jiyeon duduk disampingnya. Jiyeon hanya tersenyum membalas sapaan tersebut. Suasana canggung dan Jiyeon tahu Jiyeon yang membuat segalanya canggung.
Jiyeon mencintai Minhyuk tapi Jinki? Argh, mengapa Jinki harus datang disaat ia harus memutuskan sesuatu.
“ Kau kenapa?” Tanya Minhyuk sambil membereskan buku-bukunya di meja, waktu pulang.
Gwaenchanhayo?” Tanya Minhyuk sambil meletakkan telapak tangannya ke kening Jiyeon.
Nan gwaenchanha, Hyukkie.” Jawab Jiyeon sambil tersenyum.
“ Apakah soal kemarin membuatmu khawatir? Maaf…” Ucap Minhyuk.
“ A? Bukan, Hyukkie. Justru aku yang minta maaf karena belum memberimu jawaban, belum untuk hari ini.” Ujar Jiyeon.
“ Harus kubilang berapa kali, Yeonnie? Aku tak menuntutmu memberimu jawaban secepatnya. Kau bisa menjawabnya kapan saja dan jangan terlalu pikirkan aku. Pikirkan perasaanmu, itu lebih penting menurutku. Geogjeonghajima.” Minhyuk tersenyum sambil mengusap puncak kepala Jiyeon.
Gomawo, Hyukkie. Gomawo sudah mengorbankan perasaanmu demi perasaanku.” Ujar Jiyeon tersenyum, masam. Minhyuk mengangguk sambil tersenyum, membuat kedua matanya hilang (lagi), sesuatu yang paling Jiyeon suka semenjak mereka bertemu, dan Minhyuk memilih pergi dari kelas untuk pulang.
-***-
“ Jiyeon, kau mau main apa lagi?”
Mollaseo, aku sudah capek, Jinki.” Jawab Jiyeon.
“ Jinki-ya.” Panggil Jiyeon.
“ Hm?”
“ Aku lapar.” Ujar Jiyeon sambil mengelus perutnya.
Jinki tertawa,
“ Aku juga. Kajja! Kita cari makan!”
“ Ini…foto siapa?” Tanya Jinki yang sedang meminjam handphone Jiyeon.
“ Temanku.” Jawab Jiyeon.
“ Namanya?” Tanya Jinki lagi.
“ Kamu kepo sih? Ayo makan lagi. Itu ayammu masih banyak.” Ujar Jiyeon.
“ Aku sudah kenyang. Yeonnie, jawab aku.” Jiyeon mengacuhkannya.
“ Dia pacarmu ya?” Tebak Jinki sambil setengah menggodanya.
Ani! Dia Minhyuk, temanku.”
“ Tapi kenapa foto kalian dijadikan wallpaper handphone-mu?” Goda Jinki lagi, penasaran dengan namja yang ada di handphone sahabatnya.
“ Yak, memangnya tidak boleh? Aku juga pernah memasang foto kita.” Ujar Jiyeon. Jinki tertawa,
“ Apa kau menyukainya?”
“ Menyukai siapa?”
Namja ini.. siapa namanya tadi? Minhyuk, eo?” Tanya Jinki. Jiyeon terdiam.
Menyukai Minhyuk? Ia mungkin dikatakan bukan sekedar menyukainya tapi sudah dalam kadar mencintainya.
Molla.”
“ Aish yang benar? Aigoo…kau tak mau jujur dengan sahabatmu sendiri?”
Ya, Jinki kita memang hanya bersahabat dan wait! Kenapa hatiku biasa saja? Dulu, setiap kali kau bilang kita hanya bersahabat, hatiku terasa sakit tapi kenapa sekarang tidak?
Jja! Sudah kutebak dari beberapa hari yang lalu, kau sedang jatuh cinta! Hahahaha. Waaah nae Jiyeon sudah jatuh cinta.” Tawa Jinki. Jiyeon mendelik, nae Jiyeon?
“ Aaaa, sudah! Kenapa harus membahas ini?” Ujar Jiyeon menarik handphone-nya.
“ Kenapa wajahmu memerah? Hahahaha! Sudah ku bilang kau jatuh cinta! Hahaha.” Tawa Jinki lagi.
“ Yak! Jinki-ya! Jangan goda aku lagi aish dasar jelek!” Jiyeon mendengus kesal.
Chakkaman, aku ada telepon.” Ujar Jinki dan pergi beberapa meter dari tempat mereka.
Jiyeon berpikir lagi. Ini sungguh aneh. Perasaannya sudah tidak sama dengan 3 tahun lalu. Ia merasakan selama ini bukan cinta yang ia rasakan terhadap Jinki melainkan rasa sayang yang tumbuh karena mereka sudah bersama sejak kecil. Sayang terhadap persahabatan. Jinki bukan cinta pertamanya, karena sekarang ia sudah tak merasakan apa-apa. Ia tetap nyaman berada dekat Jinki yang humoris dan membuatnya selalu tertawa tapi dibalik itu semua rasa nyamannya berbeda dengan apa yang ia rasakan ketika berada di dekat Minhyuk. Ketika bersama Minhyuk, hatinya merasa tenang dan enggan jauh darinya. Ia…
“ Hei, jangan melamun!”
“ Hyukkie?”
“ Yak! Siapa yang kau panggil? Aku Jinki, Yeonnie-__-” Ujar Jinki kembali duduk di hadapan Jiyeon.
“ Oh, Jinki-ya. Mianhae.”
Jiyeon bodoh! Kenapa bisa memanggil Jinki menjadi Minhyuk? Kurasa, karena Minhyuk yang biasanya mengingatkanku jangan suka melamun. Aku jadi merindukannya hihihi.
“ Tunggu! Tadi kau panggil aku siapa? Hyukkie? Hyukkie siapa?” Tanya Jinki.
“Aish jangan kepo deh. Kenapa setelah dari Amerika kamu jadi kepo, Jinki-ya?” Jinki hanya tersenyum.
“ Um, Jiyeon tadi Eomma telepon katanya kita harus pulang. Katanya ada sesuatu yang harus dibicarakan.” Ucap Jinki. Jiyeon hanya mengangguk dan mereka pulang.
-***-
Mwo? Kau harus pulang malam ini?” Jiyeon terbelalak dengan apa yang baru saja Jinki katakan.
Ne. Hee Jin sakit dan aku harus menemaninya disana.” Ujar Jinki.
“ Hee Jin? Nuguya?” Tanya Jiyeon.
Nae yeojachingu.” Jawab Jinki. Yeojachingu?
“ Eum, baiklah. Semoga dia lekas sembuh.” Ujar Jiyeon menepuk bahu Jinki.
Mianhae.” Ucap Jinki. Jiyeon hanya mengangguk,
Gwaenchanha. Kapan kau pulang?”
“ Nanti malam pukul 8.”
“ Aku akan ikut mengantarmu ke bandara ya?”
“ Tentu saja kau harus ikut.”
-***-
Jinki tak melepas genggaman tangannya dengan tangan Jiyeon.
“ Aku akan merindukanmu.” Ucapnya.
“ Aku juga.” Balas Jiyeon setengah menangis. Perasaannya perih seperti 3 tahun lalu. Menyadari sahabat terbaiknya harus jauh lagi dari sisinya.
“ Aku akan ke Korea lagi. Mungkin tahun depan. Serta aku berjanji, ketika aku pulang ke Korea, kau akan menjadi orang pertama yang akan aku temui.” Ujar Jinki lalu memeluk Jiyeon.
Air mata Jiyeon tumpah membasahi beberapa bagian jaket yang dikenakan Jinki.
Uljima.”
“ Jinki, aku menyayangimu.”
“ Eum, aku juga.” Jawab Jinki melepas pelukannya dan menghapus air mata di pipi Jiyeon sambil tersenyum.
“ Aku harus pergi sekarang.” Ujar Jinki sambil menunjuk ke arah jam tangannya. Jiyeon hanya mengangguk,
“ Jinki, hati-hati disana.” Jinki mengangguk.
“ Jinki, salam untuk yeojachingu-mu. Semoga dia lekas sembuh dan kalau kau main ke Korea, ajak dia. Agar jika dia sakit, kau bisa merawatnya disini.” Ujar Jiyeon. Jinki terkekeh,
“ Ide yang bagus. Akan kuusulkan kepada Hee Jin.”
Annyeong, Yeonnie. Kau harus jaga dirimu baik-baik juga disini. Serta kalau aku bawa Hee Jin kesini, kau juga harus pertemukan aku dengan Minhyuk. Kita bisa double date nanti hahaha.”
“ Minhyuk?”
Annyeong!” Seru Jinki sambil melambaikan tangannya. Jiyeon membalas lambaian tangannya.
“ Minhyuk? Double date? Ide yang bagus, Jinki-ya.” Ujar Jiyeon pelan sambil tersenyum.
-***-
Minhyuk’s POV
Aku menginjakkan kakiku ke bandara. Malam ini aku akan menjemput Appa yang akan pulang dari Jepang. Meski aku dan Eomma sudah menetap di Korea beberapa bulan yang lalu, tapi seminggu sekali Appa tetap bolak-balik ke Jepang.
Mataku terfokus pada pemandangan sepasang eum sepertinya sepasang kekasih yang berdiri tak terlalu jauh dariku. Mataku terbelalak melihat siapa mereka, sang yeoja adalah Jiyeon. Ya, Park Jiyeon, yeoja yang cukup membuat hariku tak tenang beberapa hari ini.
Jiyeon bersama seseorang? Namja? Apakah itu namjachingu-nya? Tapi setahuku dia masih single. Wait! Mereka berpelukan? Hatiku…hancur.
Itukah alasan Jiyeon menunda jawabannya? Membuatku berada diambang ketidakpastian. Jiyeon punya namjachingu? Kenapa dia tidak bilang dari awal?
Meski hatiku hancur dan sakit, tentu saja. Tapi aku teringat akan ucapanku beberapa waktu lalu.
Aku akan selalu menunggu Jiyeon. Walaupun itu harus memakan waktuku hingga 10 tahun lamanya.
Menunggu. Hei, bukankah menunggu bukan hanya menunggu jawaban? Menunggu seseorang yang sudah punya pacar juga berarti menunggu kan? Meski rasanya terlalu jahat bagiku untuk mendoakan mereka agar secepatnya berpisah.
Aku…haruskah aku tetap menunggu? Atau aku harus menyerah sampai disini?
-***-
Author POV
“ Jinki sudah kembali lagi ke Amerika?” Tanya Eun Ji. Jiyeon mengangguk.
“ Bukankah ia bilang liburannya di Korea selama 1 minggu? Sedangkan ia baru 3 hari ada disini kan?”
Yeojachingu-nya sakit dan ia minta Jinki untuk merawatnya.” Jawab Jiyeon.
Yeojachingu? Dia sudah punya yeojachingu?” Jiyeon mengangguk.
“ Kau…bagaimana?”
“ Apanya yang bagaimana?”
“ Perasaanmu. Bagaimana? Sakitkah mengetahui Jinki sudah punya pacar?” Tanya Eun Ji.
Jiyeon diam sejenak lalu menggeleng mantap.
Ani. Aku biasa saja, justru aku berpesan kepada Jinki jika ia ke Korea lagi ia harus membawa pacarnya itu.” Jawab Jiyeon memastikan.
Jinjja?!” Jiyeon mengangguk.
“ Lalu bagaimana dengan pertanyaan Minhyuk? Apa kau sudah memutuskannya?” Tanya Eun Ji.
-***-
Jiyeon merasa aneh dengan perlakuan Minhyuk 2 hari ini. Terhitung mulai kamis dan jumat kemarin. Selama duduk bersama Minhyuk, Minhyuk lebih banyak diam. Apa dia sudah lelah menunggunya?
“ Hyukkie, kau kenapa?” Tanya Jiyeon begitu bel pulang berbunyi dan seluruh kelas sudah beranjak pulang. Hanya mereka berdua yang tersisa.
“ Aku? Aku gak kenapa-kenapa.” Jawab Minhyuk.
Really? 2 hari ini kau beda sekali. Apa kau marah padaku?”
“ Marah? Memang kau salah apa?” Tanya Minhyuk sedikit ketus. Mencoba melaraskan hatinya yang sedang beradu ketat dengan otaknya.
Ia ingin bertahan tapi ada sesuatu yang membuatnya harus menyerah. Tapi sepertinya keinginannya untuk bertahan jauh lebih kuat melawan keinginannya yang ingin menyerah.
Jiyeon hanya diam. Apakah Minhyuk marah padanya? Dia salah apa? Tentu saja dia salah karena harus merelakan Minhyuk selalu menunggunya.
“ Apa kau sudah lelah?” Tanya Jiyeon. Minhyuk diam.
Mereka berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Minhyuk dengan pikirannya—Jiyeon sudah punya namjachingu, artinya kesempatannya untuk mendapatkan Jiyeon sangat sedikit. Mengharapkan mereka putus rasanya terlalu jahat, haruskah ia bahagia di atas penderitaan orang lain? Menunggu lama bukan masalah terpenting baginya tapi melihat ia akan bahagia diatas penderitaan orang lain rasanya terlalu menyakitkan. Serta Jiyeon dengan pemikirannya—apakah Minhyuk sudah lelah menunggunya? Atau jangan-jangan Minhyuk sudah tak mau menunggunya lagi? Apakah disaat ia sudah memantapkan perasaannya, Minhyuk akan pergi? Apakah kesalahannya yang terlalu plin-plan membuatnya tak bisa mendapatkan cinta yang ia inginkan? Jiyeon merasa sangat bersalah.
“ Aku pulang dulu.” Ujar Minhyuk bangkit dari bangkunya,
“ Kang Minhyuk.” Panggil Jiyeon membuat langkah Minhyuk tertunda.
“ Apakah tawaranmu waktu itu masih berlaku untukku sekarang?” Tanya Jiyeon.
 “ Apakah kau masih mencintaiku?” Minhyuk menoleh untuk kali ini,
“ Tentu saja. Aku masih menunggu jawaban itu dan aku tetap mencintaimu.” Jawab Minhyuk mantap. Tak peduli dengan otaknya yang berkecamuk mengingat kejadian hari rabu malam itu.
Jiyeon mendekat ke arah Minhyuk.
“ Sudah kuputuskan, seharusnya dari awal sudah kuputuskan, maaf sudah menunggumu terlalu lama dan maaf mungkin dan sepertinya aku telah menyakitimu. Aku juga mencintaimu, Minhyuk.” Ujar Jiyeon.
Minhyuk terdiam mematung. Mimpikah?
“ Apakah kau sungguh-sungguh mencintaiku?”
“ Tentu saja, Minhyuk.”
“ Bukankah kau sudah punya namjachingu?”
“ Memang aku sudah punya namjachingu.”
“ Lalu kenapa kau menerimaku?”
“ Minhyuk, apakah IQ-mu menurun? Tentu saja aku punya namjachingu. Karena aku sudah menerimamu, otomatis kau jadi namjachingu-ku kan?”
“ Maksudku, apa tidak ada namja lain selain aku?”
“ Apa yang kau bicarakan, Hyukkie?”
“ Kemarin aku melihat kau berpelukan dengan seorang namja di bandara. Bukankah itu namjachingu-mu?”
“ Dia Lee Jinki, temanku.”
“ Jadi kau tak punya namjachingu?”
“ Minhyuk, harus ku ulang berapa kali, aku sudah punya namjachingu.”
“ Astaga, benar. Dan itu aku, eo?”
“ Tentu saja.” Jawab Jiyeon. Minhyuk memeluk Jiyeon sambil tersenyum. Menyadari seseorang yang ia cintai juga mencintainya dan pemikirannya kala itu salah besar.
Terima kasih, Tuhan.
-***-
“ Jiyeon, pelan-pelan.” Ujar Minhyuk sedikit tergesa-gesa.
“ Kita sudah terlambat 2 menit, Minhyuk.”
“ Astaga baru 2 menit, Jiyeon.” Jiyeon tak menghiraukannya.
“ Ok, baiklah, seharusnya aku memang tahu dari awal kau tidak pernah suka terlambat.” Omel Minhyuk.
“ Yak, JINKI-YA!” Teriak Jiyeon sambil melambai-lambaikan tangannya. Laki-laki yang dipanggil Jinki itu menoleh dan membalas lambaian tangannya serta mendekat ke arah pasangan tersebut.
“ Jiyeon, kenalkan, yeojachingu-ku, Shin Hee Jin.” Ujar Jinki.
“ Shin Hee Jin imnida.”
“ Park Ji Yeon imnida.”
“ Aaa, Jinki-ya~ perkenalkan ini namjachingu-ku, Kang Min Hyuk.” Ujar Jiyeon.
“ Kang Min Hyuk imnida.”
“ Lee Jin Ki imnida.”
-***-
Chagi, kenapa Jinki mirip denganku?” Tanya Minhyuk.
“ Benarkah?” Ujar Jiyeon yang sebenarnya tertawa dalam hati. Minhyuk mengangguk.
“ Mirip, sedikit.” Jawab Jiyeon.
Chagi, aku dan dia lebih tampan yang mana? Sepertinya aku lebih tampan bukan?”
“ Tentu saja kau yang paling tampan untukku. Eum, ngomong-ngomong, sejak kapan kau panggil aku Chagi?!!!”
“ Sejak tadi. Apa tidak boleh?”
“ Tentu saja boleh, Hyukkie. Aku suka panggilan baruku hehehe.” Minhyuk mengeratkan tangannya yang merangkul Jiyeon.
Chagi.”
“ Hm?”
Saranghae.
Nado Saranghae, Hyukkie.”
-End-
Kyaaa! Akhirnya selesai mihihi~ eotteohkae? Semoga chingudeul merasa terhibur dengan endingnya. Terima kasih yang sudah menyempatkan baca dan commentnya. Minhyuk’s Anae akan kembali beberapa waktu yang akan datang. Jangan bosen ya sama ff yang aku buat hehehehe. Daaah, See You~ 


Monday, February 4, 2013

Penepuk Sebelah Tangan

Sebut aku Si Penepuk Sebelah Tangan,

Terdengar nista tapi senyatanya memang seperti itu. Aku mencintai seseorang dan cintaku selalu bertepuk sebelah tangan.
Layaknya tangan yang bertepuk hanya sebelah ke ruang hampa udara. Kosong, tak berbunyi, tak berbalas. Seperti itulah cintaku padamu diartikan.

Aku ingin kau jadi tangan yang satunya. Menyambutku dengan riang. Membuat tepukan kedua tangan kita beradu menjadi suatu melodi yang indah. Mempersatukan kita untuk tidak menjadi kosong kembali.

Ah, tapi aku tahu itu hanya mimpi. Bagaimana tanganku bisa bertepuk bahagia jika kau tak kunjung kembali?

Menulis

Menulis membuatku tenang.

Setidaknya dengan menulis aku bisa menceritakan pengalaman serta masalahku. Meski terkadang masalah yang ku punya tidak sekompleks apa yang aku tuliskan.

Menulis adalah salah satu teman terbaikku.

Setidaknya ketika aku sedang tidak memiliki orang untuk berbagi cerita, aku putuskan untuk menulis. Terkadang aku sematkan beberapa doa dalam tulisanku karena yang aku tahu Tuhan pasti membaca dan mengetahui tulisan-tulisanku.

Menulis membuatku merasa dihargai.

Aku bebas berekspresi dengan segala bahasa yang aku bisa untuk mengungkapkan apa yang ada di benakku. Ekspresi tersebut yang membuatku merasa dihargai.
Aku bukan gadis yang baik dalam bidang gambar-menggambar. Maka dari itu kuputuskan untuk mengekspresikan sebaik-baiknya kemampuanku dalam hal tulis-menulis.

Menulis adalah belajar.

Menulis tentu saja salah satu cara dalam belajar. Salah satu arti tersebut adalah aku dapat belajar menulis dengan baik dari beberapa bahasa yang ku pelajari. Mencoba untuk menyusun tulisan-tulisanku lebih bermakna sehingga bisa menghasilkan suatu karya. Karya dari diriku sendiri.

Menulis adalah impianku.

Meski bukan prioritas pertama dalam hidupku, menulis adalah salah satu perwujudan dari impianku. Setidaknya menjadi seorang penulis yang bisa menghasilkan karya-karya terbaik adalah salah satu dari mimpiku.
Aku ingin menjadi Dokter Spesialis Penyakit Dalam sekaligus penulis handal layaknya idolaku, Joanne Kathleen Rowling.
Meski sejujurnya, kisaran tulisanku bukan mengenai imaginasi dan petualangan. Setidaknya aku bisa menghasilkan salah satu novel romansa yang akan banyak dibeli para remaja ketika mereka pergi ke toko buku. Aku ingin mereka terkesan dengan tulisanku dan mengatakan pada teman-temannya mengenai tulisan yang telah aku buat. Setidaknya itu adalah kebanggaan tersendiri bagiku jika bisa mencapai impian-impian tersebut.


Aku tersanjung pada sebuah laman di blogger yang kutemukan tak berapa lama yang lalu,

" Saat patah hati menulislah, maka tulisanmu akan menjadi prasasti. Saat depresi menulislah, maka tulisanmu adalah sebuah reinkarnasi " - sedimensenja.tumblr.com

Saturday, February 2, 2013

Orang Bilang

Orang bilang cinta itu buta, namun menurutku cinta itu satu arah. Dimana aku hanya bisa melihatmu, mengenangmu, merindukanmu, mengharapmu, dan menunggumu.

Orang bilang cinta tak harus memiliki, lantas mengapa hatiku memaksa untuk kau miliki? Setidaknya hatiku menuntut untuk kau akui keberadaannya.

Orang bilang menunggu itu melelahkan, namun menurutku menunggumu layaknya candu. Dimana aku tak pernah bisa berhenti menunggumu untuk kembali datang untukku.

Orang bilang cinta adalah kekuatan, namun menurutku cinta adalah kelemahanku. Kelemahan dimana aku selalu mencintai untuk tidak dicintai. 

Bekas

Selamat sore kau yang tak kunjung hadir,

Suatu kisahan mengenai aku dan kamu yang tak bisa menjadi kita yang menyebabkan sebuah luka membuatku menyimpulkan sesuatu,

Luka di hati mungkin sama dan sejenis dengan luka sehabis kecelakaan. Sakitnya mungkin hilang namun tidak untuk bekasnya.

Rasanya luka di hatiku sudah mulai mengering perlahan. Setidaknya, hari-hariku sudah mulai terbiasa tanpamu. Aku mulai membiasakan diri tanpamu, tanpa rasa sakit yang biasanya menggumam di dadaku, tanpa rasa mulai untuk merindukanmu lagi.
Setidaknya itu hanya sesaat.

Bekas itu masih ada. Bekas cinta beserta lukanya. Membawa kembali hadirmu di pikiranku setiap mengenang memori-memori berharga tentang kita. Ah, aku salah lagi. Aku lupa kalau aku dan kamu tidak pernah menjadi kita. Maksudku, mengenang memori-memori berharga tentang aku dan kamu yang hanya bisa dikenang olehku. dan kenangan itu membawaku kembali ke masa dimana aku hanya bisa melihatmu.

Sekiranya yang kuingat hari ini adalah kisah mengenai jendela kelas satu tahun lalu. Mungkin kau sudah lupa tapi aku tak akan pernah lupa. Bagaimana kau memanggil namaku dengan jelas dan mengalami sedikit perbincangan di jendela itu. Aku merindukan itu. Merindukan kau memanggilku.

Sekiranya hidupku selalu begitu. Terbayang-bayangi oleh memori penuh kasihan. Memori yang mengulas harapan tanpa batasan. Memori yang hanya bisa dikenang oleh satu orang. dan aku adalah orangnya.

Ini memori tentang aku dan kamu yang hanya bisa dikenang olehku. Setidaknya memori ini yang ku sebut dengan Bekas.

Ketika bekas luka sehabis kecelakaan berbentuk dengan jelas, maka bekas luka hatiku berbentuk memori-memori kecil yang memenuhi ruang otakku.

Ketika bekas luka sehabis kecelakaan menimbulkan luka lagi setelah kau melihatnya, maka memori-memori itu yang menimbulkan luka lagi setelah aku mengingatnya.