Sunday, September 24, 2017

Body Ashamed Effect

"Ih, gendut banget, sih!"
"Umur segini aja udah segini, besok-besok segimana?"
"Jangan ikut main ya, orang gendut kaya kamu pasti kalah dari langkah pertama."
"Eh, jangan lompat, nanti gempa!"
.
.
.
Pernah mengalami hal-hal seperti di atas? Kalau begitu, kita sama. Sama-sama mengalami Body Ashamed.

Sebagai seorang perempuan, berusia 20 tahun, dengan bobot tubuh jauh di atas angka normal, kalimat seperti di atas sudah seperti makanan sehari-hari untukku. Aku sendiri sudah lupa, kapan pertama kali mendengar kalimat-kalimat cukup menyakitkan itu, karena aku memang sudah gemuk dari kecil.
Mulanya, orang-orang hanya mengekspresikan betapa gemasnya mereka denganku, tapi aku sadar, beberapa dari kalimat itu bernada intimidasi dan mencemooh.

Sebagian orang yang mengenalku mungkin mengira aku orang yang cukup ceria dan murah tersenyum. Hanya mereka tidak menyadari beberapa kali aku bisa menangis kejar di kamarku sendirian meratapi kalimat-kalimat yang mereka ucapkan. Dan kalimat-kalimat  seperti di atas membuatku sedikit trauma dan memiliki beberapa ketakutan.

Aku takut berolahraga di tempat ramai.

Orang tuaku selalu mengira aku malas berolahraga, sehingga bobotku memang susah turun. Sesungguhnya, aku punya keinginan besar untuk berolahraga, tapi aku takut untuk berolahraga di saat banyak orang di sekelilingku. Biasanya, ketika aku mulai berlari atau bahkan hanya sekedar menggerakkan tubuhku, mereka mulai menatapku dengan tatapan aneh. Tidak jarang, aku mendengar celetukan, "eh, ada gajah lari." "eh, jangan lompat, nanti gempa" "boom, boom, geter semua nih."
Bagi mereka, itu lucu, itu candaan. Tapi bagiku, itu hal yang begitu menyakitkan.
Siapa yang mau disamakan dengan binatang?
Siapa yang mau dikatakan menjadi penyebab gempa?
Dan kalimat itu beserta paket lengkap dengan tatapan mereka, menjadi ketakutan tersendiri untukku.

Ibuku pernah berkata, harusnya aku tidak mendengarkan mereka. Tapi bagaimana aku tidak mendengar ketika kedua telingaku terpasang dengan benar?

Maka aku akan memilih olahraga yang bisa kulakukan sendirian, seperti mengikuti tutorial senam di dalam kamar. sendirian. dan orang tak akan benar-benar percaya bahwa aku melakukannya. Lalu mereka mulai berkata, "orang gemuk memang pemalas."

Aku takut berjalan sendirian.

Sewaktu sekolah, aku harus pulang naik angkot, dan kadang aku bisa saja pulang sendirian. Tidak jarang, begitu aku berjalan, orang-orang sekitar mulai berkata, "Mba, kok gendut, sih?", "Eh, Ndut, jalan sendirian aja." , "Wah, gendut gak ada temennya, ya?"

Aku ingin sekali menjawab ucapan mereka. Lo kira gue mau jadi gendut? Kalo gue bisa milih juga gue gak mau. Lo kira nurunin berat badan itu gampang? Kalo gampang, gue udah langsing dari dulu.

Tapi aku akan memilih diam, terus berjalan, merunduk.

Ibuku pernah berkata, harusnya aku tidak mendengarkan mereka. Tapi bagaimana aku tidak mendengar ketika kedua telingaku terpasang dengan benar?

Aku takut menginisiasi pertemanan.

Nah, untuk poin ini, aku mulai merasakannya sejak SMA.
Dulu, aku adalah orang yang begitu senang mendapat teman baru. Setiap di tempat baru, aku tidak canggung untuk berkenalan lebih dahulu. Tapi, tidak untuk sekarang, sejak saat itu.

Aku masih ingat, kala itu aku masih kelas satu SMA, sedang pergi bersama teman-temanku. Lalu mereka berinisiatif pergi bersama naik mobil dan motor. Hari itu, aku tidak bawa kendaraan dan tidak ada yang menemaniku untuk naik angkot, jika aku naik motor, aku tidak bawa helm, jadi aku memilih nebeng naik mobil. Ternyata di situ sempit, alhasil (walau aku tetap naik mobil) beberapa temanku itu bicara, "gara-gara kamu sih, sempit jadinya. Padahal beberapa orang itu bisa ikut kalau kamu gak gemuk."
dan.
Boom!
Aku meledak.
Jujur saja, yang ingin kulakukan saat itu adalah marah atau menangis sejadi-jadinya, dan turun dari mobil. Tapi aku tidak tahu kenapa, aku selalu memilih merunduk dan terdiam.

Pernah juga, beberapa hari setelah kejadian itu, kelasku sedang berlatih tari untuk ujian praktik. Saat istirahat, mereka main engklek. Dan aku ingin ikut. Tapi seseorang berkata, "Jangan ikut main ya, orang gendut kaya kamu pasti kalah dari langkah pertama."
dan saat aku benar-benar kalah dalam langkah pertama, dia mencemooh, "Benar kan kata gue, lo pasti kalah jadi mending gak usah ikutan. Orang gendut mah gak bisa main."

Bagi mereka, itu mungkin candaan. Tapi sungguh, itu sangat menyakitkan.

Aku bahkan sampai menemui guru bimbingan konselingku waktu itu, karena aku bingung harus bercerita dengan siapa. Hidupku rasanya dipenuhi tekanan.
--------------------------------------------------------------------------

Orang mungkin akan mudah mengatakan,
"Kenapa tidak diet saja? Kau kan bisa kurus dan mereka tidak akan meledekmu lagi."

Tapi maksudku bukan itu.

Memang apa salahnya jadi gendut?

Jika mereka bilang, gendut itu biang penyakit, kan penyakitnya ada di tubuhku bukan di tubuh mereka. Kan, penyakitku tidak merugikan mereka juga.
Memangnya, orang gendut tidak pantas punya teman?

Aku rasanya ingin membungkam mulut mereka, menutup mata mereka, dengan sesuatu yang pantas.

Aku memang ingin kurus, tapi aku tak mau tujuanku hanya untuk membalas kalimat mereka. Aku ingin menurunkan berat badanku demi kesehatanku.
Tapi jika suatu saat berat badanku turun, bukan berarti mereka bungkam, kan? Mereka akan terus mencemooh orang-orang gemuk lainnya.

Jika kalian, orang-orang yang pernah melakukan Body Ashamed, ku mohon berhenti. Karena kau tidak akan pernah tahu, gangguan psikologis apa yang akan terjadi pada sang penerima Body Ashamed.

Monday, September 4, 2017

Selamat Tinggal, Cinta Pertama

Tujuh tahun berlalu begitu cepat, tak terasa, tak disangka, aku bisa bertahan selama ini. Belum pernah terpikir olehku bahwa aku bisa gila, hanya karena orang sepertimu. Kau bukan orang sempurna, perawakanmu tak begitu ideal walau tinggi badanmu membuatku gila, tatapan matamu memang sempurna tapi bukan soal itu saja, keegoisanmu dan arogansimu terlupakan begitu saja, hanya soal cinta.

Cinta memang tak butuh alasan, bukan? Karena sejak tujuh tahun yang lalu aku mencari, apa alasanku terus berdiri di sini. Dan tak kunjung kutemui juga. Cintaku sudah ditolak, tapi kenapa aku masih gila bertahan hanya karena prinsip bahwa cinta pertama bisa jadi selamanya?

Beberapa kali, aku hampir tersadar. Menyadari bahwa rasa ini hanya semu belaka. Aku bukan mencintaimu, lebih tepatnya terobsesi. Aku ingin terlepas dari jerat ini, dengan membuka hati untuk orang lain, yang rupanya belum bisa memberiku angin segar seperti yang kuharapkan.

Lalu aku tertawa keras, frustasi, aku takut penolakan lagi, maka dengan bodohnya aku kembali hanya karena berpikir dibanding harus terluka dua kali, lebih baik beri aku satu luka yang begitu dalam sehingga mati rasa. Dan kau, pisau terhebat yang menyayat hatiku dengan tepat. Kau, kubanggakan, meski melukaiku dan mematikanku secara perlahan.

Hingga akhirnya akal sehat membuatku sepenuhnya tersadar. Cinta bukan tentang luka. Membiarkan luka itu berkembang hanya akan membuat harga diriku terbuang. Dan aku butuh bahagia dan kau bukan orang yang bisa membawa hal itu kepadaku.

Kau, akan kulepaskan dengan kesadaranku yang penuh.

Kau, memang tak bisa kuhapuskan dari bayangan tentang cinta pertama. Karena selamanya, aku tak bisa menghapuskan siapa cinta pertamaku.
Tapi kau, bukan cinta selamanya. Karena kau hanya membawa luka.

Selamat tinggal, Cinta Pertama. Kuharap kutemukan bahagia, sebagaimana kau bahagia tanpa aku di dalamnya.