Sweet Love of Mine
Anindityas Rahmalia Putri
Angin lembut khas sore hari menyapaku di sore yang agak mendung ini.
Membuatku mendongakkan kepala menatap langit berharap hujan tak turun lagi. Ku
pandangi orang-orang yang berlalu lalang di setiap sisi, memperhatikan
keramaian yang tetap membuatku seolah sendirian.
Ku rutuki diriku sendiri untuk memaksakan datang ke tempat ini. Tempat yang
seharusnya menyambutku ceria tapi justru membawaku ke suasana muram.
Pandanganku tertuju ke sebuah pintu di pojok kanan depan tempatku duduk, tempat
itu kosong, tak seperti dulu, dan membuat tubuhku bergerak menuju ke sana untuk
menikmati masa lalu.
“ Mau kemana?” Tanya sahabatku mencegahku berdiri. Aku menunjuk ke tempat
itu dan mengajaknya ikut ke sana, dia menyetujuinya dan menemaniku untuk pergi
ke sana.
Aku duduk di sana, pikiranku kosong meski suasana sedang ramai-ramainya.
Tak jelas apa yang aku rasakan dan pikirkan yang pasti aku ingin tetap di sini,
di tempat ini, di koridor ini dan mengenang semuanya.
Sahabatku memandangku aneh. Aku tahu dia pasti menyadari bahwa aku sedang
tidak baik-baik saja, tapi dia cukup bungkam dan memilih untuk mengobrol dengan
teman yang lain. Jangan suruh aku berbicara, ucapku dengan menatapnya dan
lagi-lagi dia mengerti lalu membiarkan aku berkelana sendiri dengan
pikiran-pikiran anehku.
Tiba-tiba bayanganku berubah menjadi kenangan dua tahun yang lalu.
Seakan-akan aku kembali mengenakan seragam putih-biru dengan wajahku yang masih
belum memakai kacamata.
Kenangan masa laluku datang saat aku duduk di koridor yang sama. Kiran,
sahabatku, duduk di sebelah kananku dan berbincang dengan teman-temanku yang
lain. Sedangkan aku memilih diam menatapi gerombolan lelaki yang sedang asyik
bermain sepak bola di lapangan sana dan pandanganku jatuh pada sosok orang yang
memakai jersey Barcelona dengan posisi tangan berkacak pinggang—khasnya
sekali dan terlihat mengambil nafas karena kelelahan. Aku memandanginya seolah
ingin merekam ekspesinya agar tak pernah lupa—menyadari bahwa waktu kami
bertemu sudah tidak lama lagi karena beberapa bulan mendatang dia akan pergi.
Aku terus memandangnya tanpa bosan meski matanya tak pernah bergerak mendekati
pandanganku—karena hari itu aku tidak peduli, yang aku pedulikan hanyalah bagaimana
menyimpan wajahnya dalam kantong memoriku hingga nanti dan sampai kapanpun aku
tak pernah melupakannya.
Tarikan seorang teman pada pergelangan tanganku mengembalikanku ke masa
kini. Kudapati lagi semua orang di sekitarku tanpa dia yang sempat singgah di
otakku. Dan yang terlihat di lapangan bukanlah sekumpulan lelaki yang sedang
bermain sepak bola, melainkan sebuah panggung megah khas pentas seni. Kenapa
aku memikirkannya lagi? Desisku lagi. Padahal sudah tiga bulan terakhir, aku
memutuskan untuk melupakannya bahkan sekarang aku mulai susah menghadirkan
wajahnya dalam tidurku, tapi semua rasanya runtuh saat aku duduk di sisi
koridor ini.
Aku menyunggingkan senyumku sedikit terpaksa ketika segerombolan perempuan
datang dan duduk di dekat panggung pentas seni. Mereka teman-teman
seangkatanku. Kemudian salah seorang gadis datang dengan perawakan yang
membuatku tercengang. Seperti tertohok, aku kembali ke kenangan dulu dan
melayang lagi.
Gadis itu tampak cantik dengan balutan pakaian modis. Tampak pas dengan
bentuk tubuhnya yang mungil. Pulasan make up membuatnya tampak lebih
dewasa dari usianya. Wajahnya ceria, nampak melalui senyum yang ia tampakkan.
Semua orang dapat langsung menyimpulkan bahwa gadis itu baik, periang, cantik,
dan memiliki segala yang mereka mau.
Aku memandang diriku sendiri. Mencoba membanding-bandingkan dengan gadis
itu. Tapi aku kalah jauh darinya. Postur tubuhku terlalu buruk jika harus
dibandingkan dengannya. Aku datang dengan menggunakan seragam sekolah, rambut
acak-acakan, tanpa make up, dan aku terlihat khas pelajar. Sedangkan
dia?
Kini aku terus membandingkannya.
Aku masih ingat siapa gadis itu. Gadis yang bisa membuat pandangan dia,
seseorang yang sedang aku pikirkan, memandangnya, bukan memandangku. Dulu, aku
tak tahu dimana letak bagusnya gadis itu tapi kini aku tahu, dia jauh lebih
baik dariku, physicly. Dan aku merasa tidak pernah pantas untuk bisa
disejajarkan dengannya.
Kali ini aku merutuki persetujuanku datang ke tempat ini. Seandainya saja
Kiran tidak memaksaku untuk datang ke SMP kami ini, mungkin aku tidak akan
mengingat lagi memori tentangnya.
“ Arlyn, lo masih mau di sini?” Tanya Kiran yang menarik tanganku.
“ Sebentar lagi band-nya Agi akan tampil.” Ucapnya seolah mengerti tatapan
mataku.
Ah, ya, aku bahkan baru ingat bahwa Kiran terlihat begitu semangat datang
karena Agi, pacar Kiran, yang akan tampil di pensi ini. Sedangkan aku? Aku
bahkan tak punya semangat untuk datang ke tempat ini. Tak ada yang ingin aku
tunggu, toh aku tahu dia tak mungkin datang. Pengecualian karena ajakan
Kiran dengan iming-iming siapa tahu dia datang, dan akhirnya membawaku
ke tempat ini.
“ Nanti gue nyusul.” Jawabku lalu Kiran meninggalkanku. Membiarkanku yang
masih duduk termenung di sini, terasa asing dengan sekolah ini. Beberapa orang
menatapku, aku tidak peduli. Sesekali aku melirik ke arah kiri, ke pintu
kelasnya, dan seolah setengah berharap bahwa dia akan muncul dengan senyumnya
dan kembali memberiku harapan lagi untuk bisa bercengkrama dengannya.
Sekelebat bayangan kembali muncul dan aku merasa kembali lagi ke masa-masa
itu. Aku sedang duduk di kursi depan kelasku seperti biasanya. Melongok ke arah
kelas di samping kelasku. Pintunya membuka dengan perlahan dan dia adalah orang
pertama yang keluar. Dia melihatku dan mendadak kedua pipiku memerah.
Aku ingat hari itu adalah salah satu hari terbaik yang pernah aku jalani
bersamanya. Dia duduk di sampingku, lalu kami bercengkrama—membicarakan hobi
kami yang sama tentang musik. Dia mulai bercerita dengan bersemangat bahwa ia
sedang belajar bermain piano, bagaimana ia mulai bisa memainkan lagu-lagu yang ia suka lewat
piano. Aku mendengarkannya tak kalah bersemangat. Ia tidak menyadari bahwa aku
semakin terkesan dengannya, aku semakin kagum dengannya. Dan hari itu terasa
begitu indah, sebelum bel masuk berbunyi dan kami berdua harus berpisah lagi.
Aku menunduk memandang sepatuku. Entahlah, semakin lama berada di tempat
ini rasanya semakin besar keinginanku untuk mengulang semua cerita yang pernah
kulakukan dengannya. Dan aku semakin merasa bahwa aku sedang berada dalam
duniaku sendiri, tak peduli orang-orang di sekitarku dan lingkunganku yang
sedang heboh dengan penampilan sebuah band di panggung. Aku lebih asyik
berada di tengah-tengah pikiranku yang sedang memutar semua memori yang kupunya
dengannya, di tempat ini, di sekolah ini. Toh, hanya ini yang bisa
kulakukan setiap aku datang ke tempat ini. Kenangan tentang sekolah menengah
pertama dan cinta pertamaku.
Pikiranku kini melayang-layang dan jatuh pada kenangan pertama yang
membawaku padanya. Hari itu adalah hari pertama kami bertemu. Kami bertemu di
depan kelas VIII dan dia adalah siswa baru di kelasku. Namanya Joe Arandy dan
dia memperkenalkan dirinya sendiri di depan kelas. Aku masih ingat setelah
perkenalan itu dia duduk di sampingku. Kami berjabat tangan sesaat sebelum dia
begitu tertarik melihat sebuah gitar yang tergeletak di pojok kelas. Dia
mengambilnya dan memainkan sebuah lagu di sampingku. Dia juga mengatakan bahwa
dia mencintai musik. Dia pandai memainkan gitar dan drum. Setelah itu, seperti
magnet, aku mendekatinya dan mengatakan bahwa aku juga menyukai musik. Setelah
itu, kami memulai cerita kami sebagai sahabat dengan hobi yang sama. Dan
sesudah itu, aku memulai kisahku sendiri yang diam-diam mengagumi sosoknya.
Setahun kemudian, kami berpisah kelas. Meski begitu, kami masih sering
berkomunikasi. Dia sering menghampiriku dan bercerita tentang musiknya.
Semuanya masih berjalan lancar sebelum Joe mulai tertarik dengan seorang gadis.
Dan gadis itu bukan aku. Gadis itu adalah teman satu kelasnya. Setelah itu, aku
seakan-akan menarik diri, menghindar darinya dan segala komunikasi dengannya.
Seolah aku menunjukkan bahwa aku patah hati.
Semuanya hampir kembali sesaat setelah ia mengatakan bahwa ia tak lagi
menyukai gadis itu. Entahlah, kurasa dia tak sadar kalau aku menjauh darinya
karena dia masih rajin mengirimiku pesan berisi tentang curahan hatinya. Tapi
kedekatan kami tak berjalan lancar ketika ia mengatakan padaku bahwa ia akan
mengambil sekolah menengah atas di luar kota. Pekerjaan orang tuanya berpindah
lagi, katanya. Setelah itu, aku kehilangannya.
Aku tersadar dari pikiranku begitu mendengar sebuah lagu yang tak asing di
telingaku. Lagu Sweet Child O’ Mine milik Gun ‘n Roses. Lagu itu
adalah lagu yang mendekatkanku dengannya. Aku berjalan menuju panggung dan
melihat Kiran yang melambaikan tangan ke arahku. Aku menatap panggung dan
seolah terbawa suasanaku sendiri. Semuanya benar-benar seolah menarikku ke
memori-memori itu. Memori yang sebenarnya ingin aku lupakan semenjak ia pergi.
Memori yang selalu datang ketika aku berniat untuk pergi.
Lagu itu berhenti dan tiba-tiba seorang gadis berseragam panitia pensi
datang menghampiriku dan Kiran. Entahlah, dia berbicara dengan Kiran dan mereka
terlihat begitu serius.
“ Lyn, lo mau kan?” Tiba-tiba Kiran bertanya padaku. Aku menatapnya
bingung, “ Mau apa?”
“ Tampil di panggung. Sekarang.” Ucap Kiran. Aku mencernanya sesaat sebelum
kedua mataku melebar, “ Buat apa?”
“ Sorry, Kak. Bintang tamu utama kami belum datang, dan acara ini akan
menjadi begitu garing kalau tidak ada yang mengisi. Tadi aku sempat
bicara dengan Kak Agi, lalu dia bilang untuk mengajak kakak dan Kak Kiran.
Katanya, kalian berdua bisa tampil dan mengisi acara Katanya, kalian berdua
bisa nyanyi.” Ucap gadis itu.
“ Oke, gue sama Kiran emang bisa nyanyi tapi bukan berarti kalian
bisa ngasih tahu secara mendadak begitu—”
“ Ayolah, Lyn. Demi SMP lo masa lo gak mau sih.” Kini Kiran membujuk.
Baiklah, untuk kali ini, dengan baik hati, aku menerimanya.
Lima belas menit kemudian, aku berdiri di atas panggung bersama Kiran yang
berdiri di depan keyboard. Kami berdua memakai kaos dan celana jeans
yang dipinjamkan oleh Anggi, si adik kelas yang tadi memaksaku untuk tampil
itu. Kiran mulai memainkan intro lagu yang akan kami bawakan. Tiba-tiba aku
melihatnya, menatap matanya, dan dia tersenyum memandangku. Aku bahkan baru
ingat bahwa lagu yang akan kubawakan adalah lagu ciptaanku sendiri. Lagu yang
ku ciptakan untuknya, yang kini menatapku dalam. Kiran selesai memainkan intro
dan aku mulai bernyanyi.
Tanpa ucap apa-apa kau hilang begitu saja
Satu yang ku sesalkan dan menyesakkan dada
Belum ada ucap cinta belum ada ucap rasa
Tapi kini semua hilang begitu saja
Riuh tepuk tangan mengakhiri penampilan kami yang mendadak dan tanpa
persiapan ini. Tubuhku mendingin begitu turun dari panggung.
“ Lo gila, Rin.” Ucapku sedikit menghela nafas. “ Gue belum pernah tampil
tanpa persiapan gini.” Ucapku dan Kiran justru menertawakanku.
“ Tapi kalian tampil bagus, kok.” Sebuah sahutan suara membuat kami berdua
menoleh. Menatap seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan mata sipitnya
yang begitu ku kenal. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman.
“ Ngomong-ngomong tadi lagu siapa? Gue belum pernah denger, loh.” Ucapnya
ramah, tak menyadari bahwa tubuhku seolah membeku. Aku benar-benar tak percaya
dia datang. Aku tak percaya bahwa kami bisa bertemu lagi. Aku tak percaya bahwa
dia ada di hadapanku sekarang.
“ Ini lagu ciptaan Arlyn loh, Joe. Buat seseorang, katanya.” Ucap Kiran
sebelum ia meringis karena injakkan kakiku di sepatunya.
“ Are you really? Lagu kamu bagus, loh, Lyn. Gak nyangka, bakat kamu
dari SMP bisa benar-benar terwujud.” Ucapnya dan memulai percakapan menggunakan
aku-kamu lagi, membuat memori itu berputar masuk lagi.
“ Kamu ngapain di sini?” Tanyaku masih kaku.
“ Mau tampil lah.” Jawabnya. Seorang laki-laki menghampiri kami dan
berbicara dengan Joe.
“ Aku siap-siap dulu, ya. 5 menit lagi bakal tampil. Kalian harus nonton!
Terutama kamu, Lyn.” Ucap Joe menepuk pundakku lalu berbalik.
“ Lo gak pernah penasaran kan kenapa gue maksa lo pake banget untuk datang
ke acara ini?” Ucap Kiran tiba-tiba. Aku menggeleng.
“ Karena Joe bakal datang. Band dia adalah bintang tamu utama di
acara ini.” Ucap Kiran. Aku menatapnya dan tersenyum, “ Terima kasih.”
Aku berlari menuju lapangan dan berdiri di depan panggung. Joe duduk di
belakang drum set-nya. Vokalis bandnya sedang berbicara tapi aku
tidak mendengarkannya. Tiba-tiba Joe mengetuk-ketukkan microphonenya
lalu berbicara.
“ Saya Joe Arandy, sebagai drummer sekaligus leader dari band
ini. Saya alumni dari SMP ini. Rasanya bangga bisa diundang dan tampil di
depan kalian. Dan setelah ini, kami akan menampilkan sebuah lagu. Lagu yang
dikhususkan untuk seseorang yang selalu saya tunggu.” Ucapnya yang mendadak
menatapku. Sebelum hampir seluruh penjuru lapangan meneriakkan cie dan
memenuhi pendengaranku.
“ Sebelumnya, ada yang harus saya beri tahu. Untuk seseorang yang selalu
saya tunggu, dan mungkin menunggu saya, seseorang yang ada di balik lagu yang
akan kami bawakan. Bahwa mulai detik ini, saya tidak akan meninggalkannya
lagi.” Ucapnya dan suara intro mulai terdengar. Mereka memainkan sebuah lagu
yang menjadi awal kisahku dan Joe. Raut wajahnya begitu serius, dan semuanya
nampak seolah mengulang apa yang pernah kami lakukan bersama.
Meski dia tak secara gamblang mengungkapkan untuk siapa lagu ini dibawakan,
tapi aku tahu, aku mengerti, bahwa lagu ini yang membawa kami bisa seperti ini.
Seolah mengerti pikiranku, dia menatapku lalu tersenyum dan jantungku berdegup begitu
kencang lalu ia kembali memainkan drumnya. Aku membalas senyumnya dan semuanya
seolah kembali terlihat begitu berwarna.
She’s got a smile that it seems to me
Reminds me of childhood memories
Where everything was as fresh as the bright blue
sky
Now and then when I see her face
She takes me away to that special place
And if I stared too long
I’d probably break down and cry
Sweet child o’mine
Sweet love of mine
( Gun ‘N Roses - Sweet Child O’ Mine)
0 comments:
Post a Comment